2007
HIRUK PIKUK KELAS mereda seketika lantaran amukan yang mencelat dari lisan Ayu, beserta gulungan karton yang ia hantamkan dengan kasar ke atas meja.
"Ya udah! Sori! Ginian aja diribetin!"
Kutekan keinginan sel-sel otakku untuk balas mengamuk, semampu mungkin. Padahal, kurasa tiada yang salah dari caraku bertanya pada Alda tadi. Aku hanya mencoba mendapatkan hakku; permintaan maaf karena mereka telah membuatku menunggu sampai lebih dari sejam.
Perjanjian kami berkata, kami akan berkumpul pukul tiga, kemudian berangkat bersama-sama ke mal pukul setengah empat. Namun, setelah aku menunggu sampai setengah lima, tak ada satu pun anggota pengurus kelas yang datang, sampai akhirnya aku mendapatkan kabar sebenarnya dari Kevin.
Baiklah, jika kau tak percaya, bahwa aku mengatakannya baik-baik, mari kita putar kembali waktu lima menit sebelum itu, ketika Alda masuk ke kelas bersama dua sohibnya, memikul beberapa sapu, pengki, dan gulungan karton.
Melihatnya, aku pun sigap berdiri, berminat membantu mereka memikul beberapa perlengkapan itu. Kupikir, itu juga tanggung jawabku. Kupingku pun tampaknya gatal. Ingin lekas kudengar penjelasan mereka terkait perubahan rencana yang kabarnya tak sampai lebih awal padaku.
Anehnya, usai melihatku mendekat pun, tiada satu pun dari Alda maupun Ambar yang menyinggung soal itu. Tersadar bahwa kehadiranku belum cukup mencungkil keinginan mereka untuk bercerita, aku pun terdorong untuk mengoreknya melalui pertanyaan.
"Al, kemarin kenapa kamu nggak kasih tahu pas pulang kalau kalian bakal langsung pergi aja? Kalau begitu kan, aku nggak perlu nunggu terlalu lama."
"Oh, iya." Alda menepuk jidatnya. "Kemarin perubahan rencananya dadakan, soalnya. Kita lagi ngumpul di rumah gue, eh, baru inget, mal kan, arahnya kebalik. Deketan mal ke rumah gue daripada sekolah."
"Kalau begitu dari awal nggak usah suruh aku tunggu di sekolah, dong. Aku jadi nunggu sejam lebih."
Tak disangka, omonganku ternyata memicu emosi Ayu. Satu-satunya yang tidak punya urusan sama sekali dalam kasus ini. "Lo denger nggak sih, Alda ngomong apa? Dia bilang, pergantian rencananya dadakan."
Jelas saja aku ikutan berang. "Ya setidaknya aku dihubungi, dong."
"Kita harus menghubungi lewat apa? Telepati? Lo nggak kasih nomor handphone lo ke kita, Non!" Ambar ikutan bersuara.
Pernyataan Ambar membuatku bungkam sejenak. Satu-satunya alasan mengapa aku tidak memberi mereka ponselku adalah karena aku tak memilikinya. Namun, bukan di situ fokusku sekarang. Aku hanya butuh pernyataan maaf untuk kedamaian hatiku. "Terus, kalian nggak merasa perlu minta maaf gitu?"
Itulah yang membuat Ayu emosi. Ia membentak dan membanting gulungan karton ke atas meja. Membuat perhatian anak-anak yang telah datang.
"Ya udah! Sori! Ginian aja diribetin!"
"Tahu! Lebay amat," imbuh Ambar. "Gibran aja yang nggak diajakin sama sekali tetep santai, kok. Lo malah ngerempongin segala hal. Sebenernya nih ya, lo nggak punya keperluan buat ikut belanja. Itu tugas gue sama Alda. Tuh, ambil kartonnya. Tugas lo ya cuma nyusun itu." Ia lemparkan karton sisa di tangannya.
Beberapa omelan mereka masih bergaung selagi mereka keluar dari kelas. Walau demikian, tidak kumiliki retorika untuk membalas. Bukan karena aku mengaku kalah dalam perdebatan ini. Hanya saja aku tahu, ini bukan sepenuhnya salah mereka. Mereka tidak akan seperti itu jika saja aku memiliki ponsel. Alasan Ambar bahwa aku sebetulnya tidak perlu ikut berbelanja dan tak perlu marah-marah pun cukup masuk akal, sekalipun kutahu jelass kemaarahanku timbul dari kecewaan usai diberi harapan palsu. Dan, benar. Gibran sang wakil ketua pun anteng walau ia tak ikut serta.
Yang membuat kekesalanku masih bercokol adalah Ayu. Gadis itu bukan siapa-siapa dalam kasus ini, tetapi kenapa dia malah ikut emosi? Jika aku yang menjabat sebagai sekretaris tak berhak ikut membeli perlengkapan kelas, kenapa pula Ayu yang bukan siapa-siapa dalam jejeran pengurus kelas kami juga ikut turut campur dalam masalah ini?