Butterfly Effects: Je T'aime

Celestilla
Chapter #10

Delapan: Seperti Kerbau Dicucuk Hidungnya

2007

SUARA SOUNDTRACK film televisi yang khas dari salah satu stasiun televisi swasta menyambutku begitu aku memasuki rumah. Mama terlelap di atas karpet nilon, sementara Uwi mendengkur halus di atas sofa. Seperti biasanya, mereka pasti tertidur selagi menonton. 

Usai memadamkan televisi, aku beranjak ke kamar. Kuletakkan semua bawaanku yang amat banyak hari ini. Sudah persis orang pulang kampung. Tasku menggendut oleh beberapa buku paket. Lebih banyak buku yang kudekap dengan tangan, tapi itu pun sudah membuatku cukup takjub. Ajaib melihat tali ranselku tak lantas putus atau permukaan bawahnya yang malah amblas, menyusul nahasnya nasib kantung plastik tadi siang.

Padahal, punggungku rasanya pegal. Lebih mirip memikul sekarung beras bermassa dua puluh kilogram, ketimbang ransel sekolah anak kelas satu SMP. Aku sampai jalan terbungkuk-bungkuk, sembari memeluk beberapa buku sisa yang tidak muat ditampung tas, bersama beberapa gulungan kertas karton. Mungkin karena aku jarang olahraga. 

Usai berganti baju, aku keluar lagi demi makan siang. Sepatu Abang Jul belum terlihat di rak. Belakangan, ia memang menolak pulang bersama. Dan ketiadaan sepatu Abang Jul adalah ultimatum bagiku untuk menyisihkan nasi dan lauk baginya. Selepas makan, aku naik ke tempat tidur. Menebus waktu tidur siangku yang tersita sehari sebelumnya.

Kesadaranku baru kembali ketika sebuah guncangan mendarat di tubuhku. Mama yang membangunkanku. 

"Je, bangun. Udah mau magrib. Nggak boleh tidur." 

Kuputuskan mandi demi melenyapkan kantuk yang masih tersisa. Padahal, aku telah terlelap dalam durasi yang cukup lama, tetapi kok, rasanya masih lelah? Selepas salat magrib dan mengaji satu batasan, aku duduk bengong di depan meja belajar. Tanganku membentangkan gulungan karton dengan lambat. Semangatku rasanya lindap entah ke mana. Mendadak aku merasa malas dalam menorehkan apa pun di atas lembar putih itu. 

Aku baru saja mau mengumpulkan semangatku ketika pintu kamar yang tidak kukunci tiba-tiba dibuka. Ayah muncul dari sana dengan sarung membaluti pinggang sampai kaki. 

"Mana buku-bukunya? Coba Ayah lihat." Ia duduk di atas ranjang mungilku. Begitu matanya tertumbuk pada satu set spidol dan kertas karton yang membentang di atas meja belajar, ia mengomel, "Ck. Jelita! Kamu menggambar lagi? Bukannya belajar!!!"

Gerak tanganku dalam menderetkan buku-buku paket beserta nota yang telah dicentang, terjeda sejenak. Hatiku tercubit oleh nada suara Ayah. 

"Itu tugas kok, Yah."

"Tugas apa suruh gambar di karton kayak begitu? Ha? Kesenian?"

Sebetulnya, aku tidak pernah paham mengapa Ayah selalu mengomeliku jika ketahuan menggambar. Dari apa yang kudengar, Ayah juga dulunya punya pekerjaan sampingan sebagai pelukis sewaktu masih remaja, sebelum sekolah akuntansi dan kini banting setir jadi tukang sablon. Semula aku senang karena setidaknya aku tahu, dari mana turunnya darah seniman yang menggelegak dalam diriku. Ironisnya, kini aku lebih sering mencelus dengan fakta itu. Sebab, setiap kali melihatku menggambar, Ayah selalu marah-marah. 

Lihat selengkapnya