Butterfly Effects: Je T'aime

Celestilla
Chapter #11

Sembilan: Makan Hati Berulam Rasa


2007

FAKTA BAHWA aku tidak tidur semalam suntuk adalah rahasia terbesarku sekarang ini. Ia tidak boleh sampai ke kuping Mama, apalagi Ayah. Lebih-lebih, alasanku tidak tidur adalah demi menghiasi lembar-lembar karton ini dengan tulisan tangan dan gambarku sendiri.

Totalnya empat lembar. Jadwal piket harian, jadwal mata pelajaran, denah kelas, juga struktur organisasi kelas. Aku menulis nama-nama dalam jalinan huruf kursif berhiaskan bunga-bunga dan dedaunan kecil. Semuanya kubuat bernuansakan hijau, biru, dan merah muda seperti permintaan Alda. Lebih nyaman melakukannya dengan tangan sendiri ketimbang meminta bantuan mesin termasuk komputer. 

Konsekuensinya, aku yang memang tidak tidur sengaja bangun lebih pagi, mandi lebih dini, pamit ke sekolah sendiri dengan alasan dusta: ini jadwal piket harianku. Bahkan, keberangkatanku ini jauh lebih awal ketimbang kemarin. Ayah tidak bertanya lebih lanjut usai kujawab pertanyaannya seputar mengapa aku tidak menunggu Abang Jul dan sarapan kelar dibuat Mama dengan kalimat itu. 

Padahal, niatku hanya satu. Berada lebih lama di rumah pagi ini meningkatkan peluang untuk kebocoran informasi seputar kantukku. Kantung mata masih mampu kuselubungi dengan sapuan bedak bayi. Lebih baik terlihat seperti topeng ketimbang zombie. Namun, ada kemungkinan aku menguap, hingga kemudian Ayah akan bertanya berapa jam dalam semalam aku terlelap. Jawabanku mungkin tak menuai rasa percayainya karena ia bakalan tetap menyalahkanku dengan berpegang teguh pada fakta bahwa "aku menguap di depan matanya". Dan, beliau benar. Jam tidurku semalam memang tidak kumanfaatkan dengan maksimal.

Angkasa masih berwarna biru redup dengan semburat kemerahan yang menyembul malu-malu dari ufuk timur. Belum banyak kendaraan yang lewat di jalanan. Perlu waktu lima belas menit bagiku dalam menunggui angkot pedana yang lewat dan menjurus ke sekolah.

Usai perjuangan keras dalam menjaga kelopak mataku terus membuka di dalam angkot selama tujuh menit, akhirnya, di sinilah aku sekarang. Duduk melantai di beranda kelas, di atas bentangan kertas buram sebagai alas. Kepalaku tertopang pada pilar bangunan. Di tengah suasana sunyi dan segar ini, kupejamkan mata sembari memangku ransel dan memeluk gulungan karton.

Pasalnya pintu kelas rupanya belum dibuka, sedang aku perlu tidur sejenak.

Embusan angin bagai tangan alam yang meninabobokan dalam pejamku. Dengan intensitas kantuk sesadis ini tak butuh waktu lama untuk jatuh pada lelap. Baru saja kesadaranku nyaris hilang dalam lidah gelombang theta, sesuatu menarikku keluar dari kegelapan dengan sebuah tepukan yang mendarat di pundak.

Penjaga sekolah yang menjulang adalah hal pertama yang kujumpai begitu kesadaran menyapaku kembali.

"Anak kelas sini, kah?" tanyanya. "Itu, pintunya sudah saya buka."

Informasi itu membuatku sepenuhnya terjaga dan memalingkan wajah. Seperti saat aku tiba kemarin, pintu itu masih tertutup, hanya tidak terlalu rapat karena kuncinya telah dibuka. Buru-buru kuucapkan terima kasih kepada Bapak Penjaga. Lapanglah hatiku sekarang. Kini, aku bisa masuk, menempelkan karton-karton ke dinding, lalu tidur lebih dengan tenang.

"Lho, Je? Ini sudah jadi?" 

Lihat selengkapnya