Aparat yang menyebalkan itu tegak berdiri di depan pintu, tidak menyeruak masuk dengan angkuh seperti biasanya. Hamka bertanya- tanya dalam hati. Tekanan seperti apa lagi yang akan mereka mainkan pada dirinya. Ya Allah, kuatkan diriku, batinnya. Dia hela napas, siap menerima apa pun.
Aparat itu masih diam. Lalu mulutnya bergerak.
“Ada keluarga saudara datang menjenguk.”
Dia terlonjak. Alhamdulillah, Allah Maha Baik. Di saat sudah hampir ambruk secara lahir batin, dia dapat jeda. Rasanya ada aliran sejuk di hatinya. Akhirnya, keluarga dapat izin untuk menjenguknya setelah ditahan beberapa minggu ini.
Siapa saja yang datang?
Dia tidak sabar bertemu mereka, tapi dia juga tidak mau mereka terlalu mencemaskan dirinya. Hamka mencuci muka dan merapikan rambut dan bajunya sebisa mungkin. Lalu dengan tak sabar dia berjalan dengan menyeret kakinya yang melemah dan kaku sejak ditahan. Penjaga rapat mengawalnya di sebelah.
Dari balik kaca dia melihat bayang-bayang mereka. Senyumnya terkembang luas, sejenak penderitaan lahir batin di tahanan ini terlupakan begitu melihat istri dan anak-anaknya datang. Ada Zaki, Rusydi, dan Fakhri.
Melihat Siti Raham tersenyum lunak, Hamka juga tersenyum. Dipeluk dan diciumnya istri dan anak-anak satu persatu. Lalu tak sadar, tak terbendung, air matanya bergulir di pipi, bersatu dengan air mata istri dan anak-anaknya saat mereka berpelukan. Selama beberapa saat hanya segukan halus, tarikan napas panjang, dan alhamdulillah yang terdengar.
Setelah semua sudah tenang, mereka baru mengobrol melepaskan rindu. Dia mendekat ke arah istrinya, lalu menggenggam tangannya. “Raham, jangan khawatir, insya Allah kita akan melewati ini.” Ah dia tahu, alih-alih menguatkan istrinya, sebenarnya dia yang perlu me- nguatkan diri sendiri.