Buya Hamka

Falcon Publishing
Chapter #4

Menggendong Masa Depan

Permukaan Danau Maninjau beriak pelan memantulkan matahari pagi ke rumah beratap ijuk bergonjong empat itu. Pantulan sinar yang menari-nari seperti ujung lilin itu masuk melalui sela kain jendela, lalu sampai ke kacamata bulat di wajah Haji Rasul yang sedang terduduk di atas bangku kayu. Matanya terpejam. Jarinya menggulirkan biji tasbih satu persatu, mulutnya berkomat-komit. Dia menunggu masa depannya. Dengan hampir tak sabar.

Tiba-tiba pintu kayu kamarnya berderit. Sebuah kepala mencogok dari dalam. “Angku masuaklah, lah lahia anak Angku. Telah lahir anak tuan. Laki-laki,” kata dukun melahirkan.

“Alhamdulillah,” teriaknya serak. Wajah Haji Rasul seperti ber- pendar terang dan senyumnya seluas wajahnya. Angin danau yang segar mengibas-ngibas kain jendela yang terbuka lebar. Sinar matahari semakin menari-nari.

“Insya Allah jadi penerus perjuanganku.” Bayi inilah anak laki-laki pertamanya yang hidup saat ini. Anak pertamanya perempuan, lalu anak keduanya laki-laki, tapi meninggal ketika berumur sehari.

Di dalam kamar, dia dibelai kening istrinya, Syafiah, yang berpeluh karena kelelahan mengejan bayi ini. Lalu Haji Rasul memangku bayi merah yang menangis dalam bedungan kain panjang itu. Lamat-lamat dia lantunkan azan ke kuping anaknya.

“Sepuluh tahun, Nak, insya Allah,” gumam Haji Rasul.

Syafiah tersenyum mendengar gumaman itu. Sudah sering suaminya menyebut angka ini. Dia paham artinya.

“Sepuluh tahun anak kita ini akan belajar di Makkah, biar dia terbentuk menjadi orang alim pula, seperti aku, seperti kakeknya, dan seperti kakek-kakeknya yang terdahulu.”

Haji Rasul, seorang ulama terkenal, yang menuntut ilmu sampai jauh ke Makkah, berguru ke Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi.

Sejak lama dia memang sudah punya rencana besar untuk anaknya. Agar jadi penerusnya, menjadi pewaris koleksi bukunya di Kutub Khanah, penjadi anak pembawanya ke surga.

“Saya namai wa’ang, Malik. Abdul Malik Karim Amrullah,” katanya sambil membuai-buai bayi ini.

Capeklah gadang. Cepatlah besar, Nak. Kawani Ayah mengajar, memimpin umat ini.”

Dari luar terdengar sayup-sayup hempasan lembut riak danau yang menyentuh tepi pantai. Berdebur pelan, seperti zikir alam.

Lihat selengkapnya