Malik tak perlu jauh mencari. Ketika dia belum usia sekolah, salah satu pamannya, Angku Muaro, punya semua waktu buat Malik. Angku sudah cukup berumur, sekitar 60 tahun, rambutnya putih, tapi muka dan badannya langsing alot. Sepanjang dia ingat, Angku ini selalu tersenyum kepadanya. Angku Muaro kerap mengajak Malik ke mana pun dia pergi. “Ka pai ang jo den?” katanya kepada Malik. Kamu mau ikut? Ini ajakan yang ditunggu-tunggunya. Tanpa menunggu lagi dia mengangguk dengan senang hati.
Dia mengekor Angku berjalan dari rumahnya, menuju sebuah muara sungai di tepi danau. Tidak jauh dari rumahnya mengalir sebuah sungai yang bening, dengan hulu di puncak bukit yang hijau di belakang rumahnya. Di mulut sungai yang bertemu dengan tepi danau ini banyak ikan hilir mudik, mencari air yang sejuk dan bersih. Yang akan ditangkap bukan ikan kecil seperti rinuak atau bada, tapi ikan yang lebih besar.
“Coba lihat ini,” katanya. Lalu Angku memasang pancing, menebar jala dan lukah di air jernih ini. Tapi, Malik heran karena belum ada ikan yang terjerat.
“Karena menangkap ikan itu memang perlu bersabar. Jadi kita perlu menunggu.”
“Menunggu di sini? Panas sekali, Angku.”
Angku tertawa dan menunjuk sebuah dangau kecil di tanah agak ketinggian.
“Sudah aku bangun di sini dangau untuk beristirahat. Bahkan kalau perlu kita bisa bermalam di sini sambil menunggu ikan mulai muncul menyusur naik ke hulu sungai. Ada beras dan ikan asin untuk makan malam.”
“Benarkah, Angku? Boleh menginap malam ini?”
Angku Muaro mengangguk sambil terkekeh.
Mata Malik berbinar. Belum pernah dia tidur malam-malam di tepi danau seperti ini. Dengan gembira dia duduk-duduk santai di dangau itu, melihat riak danau yang tampak semakin indah disiram matahari petang hari. Setelah makan malam, Angku mengisahkan dongeng- dongeng kampung yang menyenangkan sampai mata Malik pelan-pelan redup. Tak berapa lama kemudian dia tertidur pulas, bergelung dalam kain sarung, diayun oleh dongeng Angku Muaro, gemercik air, dan embusan angin danau.
Besok paginya Malik terbangun beriringan dengan suara tabuh yang dipukul di surau di tepi danau. Ketika dia melongokkan kepala ke arah danau, dia melihatnya seperti berasap karena kabut pagi yang menggantung. Lalu pelan-pelan kabut itu seperti menyala lembut kena terpaan sinar pertama matahari.
Sejak itu Malik kerap ikut Angku Muaro. Jelas lelaki ini punya kebiasaan yang lebih menyenangkan daripada ayahnya yang pengajian lagi dan pengajian lagi di surau.
Angku pun tampaknya mengerti jiwa Malik. Di saat semua jala dan lukah sudah dipasang dan malam mulai kelam, dengan ditemani damar yang menyala, kopi dan durian, dia hibur Malik dengan macam-macam cerita yang menerbangkan khayal dan angannya.
Angku pandai sekali bercerita dan hafal banyak dongeng dan legenda. Dari mulut angku ini untuk pertama kali Malik kenal cerita Cindur Mato, Murai Randin, Tupai Jenjang, Malim Deman, dan riwayat Danau Maninjau.
“Berani wa’ang mendengar cerita hantu?”
“Berani,” jawabnya cepat. Tapi, badannya beringsut mendekat ke Angku. Gayanya saja yang berani, sebetulnya hatinya kebat-kebit.
Maka dengan suara yang direndahkan, seperti penuh rahasia, mengalirlah dari mulut Angku Muaro cerita tentang hal gaib seperti cindaku, harimau jadi-jadian serta orang Sibunian. Berkali-kali merinding bulu kuduk anak umur 6 tahun ini, semakin seram cerita semakin dia merapat ke Angku. Dia takut, tapi setiap satu cerita tamat, dia penasaran mendengar cerita tentang hantu yang lain.
“Ada cerita apa lagi, Angku?”
“Ada, tapi lebih menakutkan. Benar berani?”