Walau dikenal sebagai anak pemberani, pagi ini ujung jari Malik terasa dingin ketika dia melangkah menuju bilik praktik tukang sunat itu. Jantung anak berumur 10 tahun ini berdebar-debar kencang. Yang terbayang hanyalah pisau mengkilat yang diasah tajam-tajam. Apakah sebesar parang Angku Muaro? Bagaimana kalau nanti pisau tukang sunat itu meleset dan salah potong? Dia pejamkan mata dan berdoa khusyuk.
Beberapa menit kemudian, dengan muka mengernyit Malik keluar ruang sunat dengan langkah tertatih dan memakai sarung kedodoran. Tapi, sakitnya disunat segera terlupakan begitu dia mendapati rumahnya ramai dan makanan berlimpah. Malik senang sekali karena mendapat banyak hadiah dan uang dari famili yang datang menjenguk. Bahkan ayahnya memberinya buku-buku cerita, seperti Hikayat Bakhtiar, Hikayat Si Miskin, dan Hikayat Panji Semirang.
“Bacalah kisah ini, dan mesti belajar sabar, menderita seperti disebut dalam Hikayat Bakhtiar,” kata Haji Rasul. Mata Malik berbinar-binar. Sambil memegangi sarung supaya tidak melorot, Malik mulai membaca buku-buku itu satu per satu, bagai kelaparan.
Agak siang sedikit, ayahnya mengundang orang untuk membaca barzanji yang diikuti pula oleh banyak orang yang hadir. Malam hari tidak kalah meriah, ayahnya khusus mendatangkan si Japan Tukang Rebab jauh dari Pariaman. Malik kecanduan mendengar kisah kaba ini sejak diajari Angku Muaro. Dia hanyut dibawa cerita yang merayu-rayu hatinya ini. Malam kedua berlanjut pula dengan si Balam Tukang Kaba yang menyampaikan Kaba Raji Unggas Layang dan Kaba Si Bujang Jauh. Banyak orang yang datang mendengar sampai jauh malam. Sunatan Malik benar-benar bagai baralek gadang, atau helat besar.
Bahkan ketika sudah membaringkan diri di kasur, dia terus teringat kata-kata yang mengalir indah ditemani oleh gesekan rebab yang menyayat-nyayat hati itu. Terbawa pula ke dalam mimpinya, tentang perantauan anak Minang yang jauh seperti dalam syair:
Mangko banamo bujang jauh
Sebab di jauh perjalanan
Sampai tumbuh sekat di punggung
***
Di tahun 1918 ini pula, sepulang dari perjalanan ke Jawa, Haji Rasul mendirikan Sumatra Thawalib di Padang Panjang. Dia terkesan setelah mengamati perkembangan metode belajar di Jawa dan ingin pula menerapkan di kampung halaman. Maka sejak itu pengajian ala suraunya yang tradisional di Jembatan Besi dia ubah menjadi sekolah yang memakai sistem kelas-kelas. Mulailah disusun silabus dan pelajaran bertingkat, misalnya anak kelas 1 belajar Matan Jurumiyah, lalu di kelas 2 meningkat menjadi Mukhtashar.
Seiring dengan berdirinya sekolah ini, misi pribadi Haji Rasul yang menginginkan Malik menjadi alim ulama semakin menggebu. Haji Rasul memanggil Malik yang waktu itu masih belajar di sekolah umum.
“Mulai sekarang, wa’ang tidak usah melanjutkan belajar di Sekolah Rakyat lagi. Kini, pagi wa’ang sekolah di Madrasah Diniyah, lalu sore wa’ang sekolah di Sumatra Thawalib. Biar lekas pandai, langsung naik kelas 2.”
Malik hanya bisa mengangguk seakan akur saja. Tak mungkin dia menolak walaupun ada tumbuh rasa malas di hatinya. Dia cemas, kebanyakan sekolah ini akan memakan jam bermainnya.
Tapi, siapa yang berani membantah perintah ayahnya yang ulama besar ini?
Lalu mulailah dia duduk di kelas 2 Thawalib. Persoalan langsung naik kelas 2 ini mungkin juga ada benarnya karena Malik sudah hampir hafal isi Matan Jurumiyah, yang dimulai dengan kalimat alkalaamu huwa lafdzul murakkabul mufiidu bil wadh’i ….
Ketika dia datang hari pertama mengepit kitab, yang dia lihat suasananya tak jauh dari bentuk pengajian surau sebelumnya. Bedanya, sekarang sudah ada pengelompokan murid berdasarkan kelas.