Buya Hamka

Falcon Publishing
Chapter #7

Pipi yang Pedih

Tak terasa sudah dua tahun Malik belajar agama pagi dan sore, seperti permintaan ayahnya. Ketika itu Malik sudah berumur 12 tahun. Suatu petang ayahnya bersantai di beranda setelah sibuk berdakwah ke beberapa daerah, sesekali ayahnya bertanya kepada Malik tentang pelajarannya. Ada yang dia bisa, ada yang dia jawab dengan garuk-garuk kepala. Ketika jawabannya tidak jelas, ayahnya mengulang-ulang lagi cerita lamanya, “Ketika masih kecil seperti wa’ang, saya sudah alim dan siap belajar ke Makkah. Ini wa’ang kok belum juga hafal kaji.”

Malik hanya diam dan menunduk saja. Dia tak sepenuhnya setuju kisah ini karena pernah diceritakan oleh Nenek dan orang-orang tua di kampung, kalau ayahnya waktu kecil bahkan lebih nakal dari dia. Dia tidak habis pikir, kenapa kelakuan ayahnya waktu kecil disebut biasa saja, sedangkan dia sekarang yang hanya agak nakal malah dicela.

Akhirnya, Haji Rasul tampaknya lelah menceramahi Malik. Ayahnya melanjutkan menyeruput teh dan Malik senang karena artinya kini dia bisa melanjutkan bermain. Tapi belum sempat dia melesat pergi, tiba-tiba terdengar ada orang mengucap salam. Haji Rasul tertawa senang menyambut tamunya.

Belum lagi melihat orangnya, baru mendengar suara itu saja jantung Malik berdetak lebih kencang. Malik kenal sekali tamu ayahnya. Angku Mudo. Murid kesayangan dan kebanggaan Haji Rasul. Pucat mukanya dan telinganya memerah ketika melihat orang ini menyalami ayahnya dengan amat takzim. Ujung matanya melirik ke Malik.

“Duduklah Ananda di sini. Kawani saya minum teh.” Dengan sigap Haji Rasul sendiri yang menuangkan teh ke cawan kosong di depan muridnya, yang tertunduk malu mendapat layanan dari guru yang disegani ini.

Malik mencoba membuang muka dan menekur saja, seperti mengukur-ukur jalan. Firasatnya mengatakan dia harus mengambil ancang-ancang untuk melenyapkan diri. Menyingkir terbang dari beranda itu secepatnya. Sekarang juga.

Baru saja dia mengingsut langkah ke pintu rumah untuk menyelinap, Angku Mudo dengan lemah lembut menyapanya.

“Oii, Malik, mau ke mana? Sudah sehat kah kau? Angku sengaja datang ke sini melihat kondisi kau. Bagaimana badan kau sekarang? Masih sakit atau demam?”

“Tidak, Angku,” jawab Malik dengan terbata-bata, serba salah. Dia menjawab pendek-pendek saja, tapi gurunya ini terus mengajak bicara. Betapa ingin dia punya ilmu menghilang saat ini.

Haji Rasul yang mendengar semuanya dengan jelas mengerutkan keningnya. Wajahnya yang tadi riang gembira menjadi keruh. Malik berdebar-debar melihat mata ayahnya bertanya-tanya.

Lihat selengkapnya