Sejak dia kedapatan bolos, Malik lebih hati-hati. Mau bagaimanapun dia bosan sekolah, Malik tidak punya pilihan selain memaksakan diri selalu hadir di sekolah agama. Takut kecolongan lagi, ayahnya kini rajin bertanya kepada para guru tentang perkembangannya.
Kursus Bahasa Inggris yang tempo hari membesarkan hatinya, tiba- tiba tidak berlanjut. Gurunya yang pandai mengajar ini, Sutan Marajo, pamit kepada dia dan murid-muridnya, “Good bye students.” Dia mendapat pekerjaan mengajar di Padang dengan gaji yang lebih baik.
Malik benar-benar mati angin, tidak tahu harus bagaimana lagi. Sampai tiba-tiba dia menemukan ada sebuah surga dunia, terletak tak jauh dari rumahnya.
Angku Zainuddin Labay, yang sudah dikenalnya sebagai murid senior ayahnya, membuat surga itu. Dia membuka kutub khanah, sebuah ruangan yang penuh buku untuk disewakan kepada siapa saja. Namanya, Perpustakaan Zainaro.
Yang membuat mata Malik berbinar-binar ketika memasuki tempat ini adalah tersedianya segala macam buku yang membuat dia seperti orang kelaparan masuk ke rumah makan. Comot sana, comot sini, buka itu, buka ini. Di sebuah rak tampak buku-buku cerita rakyat terbitan Voor Volkslectuur, di rak sebelahnya ada buku terjemahan Tionghoa Melayu, di tumpukan lain ada pula buku Eropa seperti Graaf de Monte Cristo, juga ada buku-buku tentang Asia. Tidak hanya buku, dia bisa pula membaca beberapa koran seperti Bintang Hindia yang memuat Surga Zainaro tulisan banyak penulis, termasuk karangan yang disukainya dari Dr. A. Rivai yang sedang tinggal di Eropa.
Berlama-lama di dalam perpustakaan membuat dia merasa masuk dalam dunia luas yang bebas dari rasa sedih juga nestapa. Ini pelariannya. Ini kesukaannya. Dia bersedia tersesat di dalam buku-buku ini. Maka setiap hari dia tidak sabar untuk datang, meminjam buku, dan membacanya dengan rakus. Masalahnya sewa buku ini mahal, harganya 5 sen per buku untuk dibawa pulang selama dua hari. Padahal uang jajannya sehari hanya satu benggol, atau 2.5 sen. Kalau ingin meminjam satu buku saja artinya dia harus siap tidak jajan selama dua hari. Dia punya akal, sebelum pergi ke sekolah dia makan banyak-banyak sampai perutnya buncit agar tidak tergoda jajan. Dia menabung uang sakunya demi meminjam lebih banyak buku.
Begitu sampai di rumah, dia duduk di sebuah sudut dan asyiklah dia terbang masuk ke dunia yang lain itu, membaca buku pinjamannya. Sayangnya, karena dia terlalu bersemangat membaca, buku yang baru dipinjam ini bisa tamat dalam sehari saja. Dia rosok sakunya sudah tidak berisi lagi. Untuk meminjam buku lagi, dia tiada punya uang. Uang jajan sudah pasti tak bisa ditambah. Apa akal?
Malik memperhatikan, ternyata semua buku yang akan disewakan terlebih dahulu dilapisi sampul kertas karton tebal. Dan tempat membuat sampul tebal itu adalah di percetakan Badezst, milik Angku Bagindo Sinaro. Malik lalu sering main di depan percetakan, sambil melirik-lirik ke dalam melihat tumpukan buku dengan dahaga. Beberapa orang tampak bekerja menjilid buku, memotong kertas, mengaduk lem, menjemur buku yang masih basah, dan menumpuk buku yang sudah selesai. Sesekali Angku Bagindo Sinaro pun turun tangan ikut bekerja bersama dengan pekerjanya.
Dengan senyum yang tidak lepas-lepas tersungging di bibir, dia memberanikan diri masuk ke percetakan. “Angku, daripada sibuk bolak- balik ke kedai, biarlah saya yang membelikan kopi,” katanya kepada Angku Bagindo Sinaro. Angku ini mengangkat muka dan heran juga melihat anak kecil ingin membantu dia. Tapi dia tahu kalau ini anak Haji Rasul, jadi dia agak tenang. “Coba belikan kami kopi tiga gelas ke kedai itu,” katanya. Dengan riang gembira Malik melakukan tugas itu.