Buya Hamka

Falcon Publishing
Chapter #9

Petir Meletus di Pangkal Telinga

Suatu siang, neneknya muncul di depan rumah mereka dengan wajah lelah. “Andung datang,” teriak Malik dengan riang. Andung adalah panggilan untuk nenek di kampungnya. Dia tahu kebiasaan neneknya yang sangat penyayang ini. Pasti selalu membawakan buah tangan yang dia sukai, seperti ikan bada dan rinuak yang hanya ada di Maninjau.

Karena saat itu hampir tak ada kendaraan umum, nenek berjalan kaki melintasi kelok 44, naik turun bukit, menyeberang lurah dan sungai. Saat itu Malik tidak terlalu mengerti apa yang membawa perempuan tua itu berjalan kaki sejauh 40 kilometer dari tepi Danau Maninjau ke Padang Panjang.

Tapi, suasana hatinya yang senang segera berubah. Begitu bertemu ayahnya, tampak neneknya menangis-nangis, bahkan menyungkurkan diri di hadapan ayahnya. Tampaknya ada urusan gawat antara orang dewasa ini.

“Guru Haji, kenapa Angku tinggalkan anak-anak?” Itu perkataan neneknya yang sempat dia dengar. Anak yang ditinggalkan? Apa maksud neneknya? Dia belum sepenuhnya paham.

Setelah beberapa lama nenek dan rombongan berbicara serius dengan Haji Rasul, tiba-tiba ayahnya menoleh kepada Malik.

“Malik, kamarilah wa’ang.” Ayahnya melambaikan tangan menyuruhnya mendekat. Sebenarnya, Malik enggan diajak bicara di saat suasana kusut seperti ini, tapi sudah terlambat bagi dia untuk menyelinap lari tanpa ketahuan.

Ragu-ragu Malik mendekat sambil berpikir-pikir, apalagi kesalahannya sekarang. Dia agak lega melihat air muka ayahnya tenang. Bahunya dipegang dan tak disangka-sangka, ayahnya merengkuh badannya ke pelukan, sampai dia bisa merasakan kumis ayahnya yang subur itu menggelitik pipinya.

Dia merasa malu dan sungkan diperlaku begitu intim oleh ayahnya, apalagi kini dia sudah bujang besar. Tambahan pula, selama ini hubungan mereka terasa dingin. Tapi yang tak bisa dimungkirinya, jauh di lubuk hatinya terbit rasa hangat yang aneh. Dikenalinya rasa itu sebagai bahagia.

Dari jarak yang hanya sejengkal dari wajah ayahnya ini, Malik bisa melihat dengan jelas, ada air berlinangan di pipi ayahnya. Berkilau ditimpa sinar siang. Napasnya terasa lebih keras mengembus dari hidungnya yang tampak basah. Ayahnya menangis. Tak pernah dia melihat ayahnya sampai menangis seperti ini. Pemandangan ini membuat rasa bahagia sesaat tadi telah berganti menjadi risau. Entah musibah apa yang akan datang.

Dengan suara pelan, hampir berbisik ayahnya berkata, “Dengar Malik. Jika Ayah bercerai dengan ibumu, dengan siapakah wa’ang akan tinggal?”

Bisikan ini halus, tapi rasanya bagai petir yang meletus di pangkal telinganya. Hatinya seperti piring kaca yang dihempaskan ke lantai dan pecah berderai-derai. Walau ayahnya memakai kata bersyarat “jika”, dia sudah mafhum kalau ini sebenarnya bukan pasal berandai-andai. Ini sudah kata putus.

Bagaimana dia mau menjawab? Malik hanya bisa diam. Dia tak kuasa menjawab pertanyaan ayahnya, lebih tepatnya dia belum bisa menjawab. Dikuncinya saja mulutnya rapat-rapat.

Lihat selengkapnya