Buya Hamka

Falcon Publishing
Chapter #10

Tarung Burung

Mungkin ada caranya. Haji Rasul sampai pada kesimpulan anak bujangnya ini tidak cocok kalau terus belajar di sekolah miliknya di Padang Panjang. Dia perlu dikirim ke tempat lain. Malik dipanggilnya untuk bicara.

“Malik, sudah waktunya wa’ang berguru ke Syekh Ibrahim Musa di Parabek,” kata Haji Rasul memerintah. Tanpa mengharap jawaban, tanpa memberi waktu diskusi.

Tapi Malik memang tak hendak membantah, malah dia agak bersemangat karena artinya dia akan menjauh dari Padang Panjang, jauh dari pengawasan Ayah dan keluarganya. Belum lagi pergi, dia sudah bisa membayangkan betapa banyak kebebasan yang akan dia dapat nanti. Dia sendiri tidak tahu akan belajar apa nanti, tapi dia tahu akan ada petualangan baru, tidak hanya di sekitar Padang Panjang saja.

Malik tahu betul siapa Syekh Ibrahim Musa yang terkenal karismatik itu. Syekh ini pernah sama-sama merantau ke Makkah dengan ayahnya untuk berguru ke Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Kini kawan ayahnya ini mengasuh sebuah pesantren yang ternama di kampung Parabek, tidak jauh dari kota Bukittinggi. Ayahnya berharap di bawah asuhan kawannya ini, ilmu Malik bertambah dalam dan tingkah lakunya membaik.

***

Setiba di Parabek, Malik ternyata seperti kembali ke suasana belajar di Padang Panjang. Kejadian yang sama terulang karena dia kembali ditempatkan di kelas atas, yaitu kelas 6. Tak ada kawan sepantarannya di kelas ini. Dia yang baru berusia 14 tahun duduk sekelas dengan murid yang berumur 25 tahun, 30 tahun, atau mungkin lebih dari itu.

Di sekolah yang berada di tengah hamparan sawah dan kampung petani ini, dia belajar hidup mandiri seperti anak pesantren lain. Untung dia pandai bergaul dan segera punya banyak teman untuk mengajarinya cara hidup di pesantren ini. Kalau perut lapar, dia tak bisa langsung lari ke dapur seperti di rumahnya dulu. Kini dia perlu melihat dulu apa masih ada beras di dalam karung kecilnya. Setelah itu dia harus menanak nasi sendiri di tungku kayu di dapur bersama.

Jika kayu bakar habis, lapar harus ditunda dulu karena dia perlu mencari kayu bakar di kebun belakang asrama. Bila kayu bakar sulit dicari di dekat asrama maka Malik bersama teman-temannya berjalan menuruni lurah ke arah Sianok, mengumpulkan kayu-kayu bakar untuk persediaan di dapur.

Kalaupun nasi sudah ditanak, masalahnya belum selesai karena dia perlu memikirkan apa lauk hari itu. Karena itulah kini Malik mulai belajar apa yang harus dibeli di pasar setiap Sabtu. Menurut kawan- kawannya yang lebih senior, dia perlu membeli ikan kering, minyak goreng, garam, bawang, bumbu ini itu, lalu mengolah sebisanya dengan bantuan resep dari anak-anak lama di Parabek. Memang Malik bergaul tidak hanya dengan anak baru, tapi dia punya kawan dari murid lama dan pemuda kampung.

“Ayo kawan-kawan, jangan mengaji terus, saatnya kita jalani nagari ini,” ajak Malik begitu ada waktu luang. Jika ada kawan yang bisa dipengaruhinya maka mereka beriringan berjalan ke kampung- kampung lain di sekitar Parabek, mulai dari Durian, Sungai Tanang, Padang Luar, Kapeh Panji, sampai Guguk Tinggi. Dia adalah jiwa yang penasaran dan suka mengamalkan petuah alam terkembang. Dia ingin melihat dunia luas, ingin berjalan jauh, ingin belajar banyak perkara.

Dengan baju sederhana yang agak kusut, peci hitam yang beludrunya sudah tipis, serta sarung terselempang di badan, dia dan teman-temannya meniti pematang antara ladang dan sawah petani sayur di daerah subur yang diapit Gunung Marapi dan Gunung Singgalang ini. Biasanya ada saja petani yang memberi mereka sayur-mayur, kacang, jagung, dan segala hasil bumi, sampai berat dan penuh karung kecilnya. Tentulah Malik dan kawan-kawannya senang.

Memang orang Minang penyayang kepada anak muda yang sedang belajar agama, atau lebih dikenal dengan orang siak. Masyarakat percaya, membantu pelajar-pelajar yang sedang sekolah agama itu seperti membantu orang berjihad. Jihad berjuang menuntut ilmu.

***

Tapi, Malik tidak sepenuhnya belajar agama saja selama di Parabek. Di hari tertentu Malik punya jadwal-jadwal khusus yang tidak ada hubungannya dengan pelajaran mengajinya. Dia belajar silat pada Sutan Marajo, seorang guru silat terkenal di kampung Parabek. Dia pikir selain bekal agama, perlu pula anak muda seperti dia punya bekal ilmu untuk membela diri, jika suatu ketika nanti dia merantau jauh.

Lihat selengkapnya