Dengan bacaan Malik yang banyak dan pergaulannya yang luas, semakin jauh imajinasinya menjelajah. Sedangkan dalam hidup nyata, dunianya semakin menyempit di bawah pengawasan ayahnya. Akibatnya, semakin hari semakin resah dia dengan hidupnya sekarang. Sementara itu Haji Rasul bagai tak peduli dengan perasaan Malik. Ayahnya terus menyuruh Malik belajar kitab-kitab agama yang dia tidak mengerti dan tidak berminat pula.
Lambat laun, darah mudanya menggelegak. Suatu hari Malik benar-benar sudah tidak tahan terkurung di Padang Panjang. Di usia 15 tahun itu, dia diam-diam menetaskan sebuah rencana besar. Dia ingin lari. Iya, lari begitu saja, pergi jauh, tanpa memberi tahu ayahnya. Dia hendak ke Jawa mengembara, belajar apa saja.
Dengan bekal seadanya, dia meninggalkan kampung halaman tanpa ada yang tahu dan tanpa menengok lagi ke belakang. Saat dia mengayun langkah pergi, rasa senang dan cemas bercampur aduk, hatinya tidak enak. Tapi, dia keraskan hatinya bahwa semua akan lancar saja. Setelah beberapa hari di perjalanan, bukan hatinya saja yang tidak enak, badannya lebih tidak enak lagi. Panas dan pegal linu.
Apa daya, rencana besar ini gagal, dia tidak berhasil menyeberang ke Jawa karena begitu sampai di Bengkulu dia terserang cacar, lalu disusul dengan sakit malaria. Setelah dua bulan dirawat familinya di Bengkulu, Malik pulang kampung kembali. Tapi, penampilannya sudah berubah. Dia kini anak bujang yang kurus, rambut rontok, dan wajahnya seperti permukaan bulan yang penuh lubang-lubang kena cacar. Setelah sembuh cacarnya, dia kena pula penyakit kudis. Sakit dan cobaan menggasaknya bertubi-tubi. Beberapa orang mengatakan nasib sialnya ini gara-gara dia pergi tanpa meminta restu pada ayahnya, yang dianggap keramat oleh sebagian orang kampungnya.
Malik selama ini tidak terlalu peduli dengan kondisi dirinya, walau diejek teman-temannya. Sampai suatu hari ketika saat dia ada di Pasar Raba’a Sungai Batang, jantungnya berdetak cetak. Di depannya berjalan Ros, seorang gadis rancak murid Normal Putri yang dia suka.
Tak tahan dia menyapa. “Ros, sudah lama kita tak bersua. Bagaimana sekolah kau?”
Gadis yang disapanya menoleh. Lalu mengejap-ngejapkan mata. Raut muka bertanya-tanya.
“Situ bicara kepada saya? Apa kita pernah kenal?”
Malik tak habis pikir, kenapa dia tidak mengenali dirinya. “Ini aku. Malik! Kita kawan lama,” katanya menepuk dadanya sendiri.
Kening gadis itu terkejut, lalu berubah-ubah antara bingung dan segan.
“Yang benar Malik ini? Kok beda?”
Tak kuasa dia menjawab, dia hanya menunduk mengukur tanah. Sedangkan Ros sudah berlalu, bersama teman-temannya sambil tergelak-gelak. Malik pelan-pelan sadar, jangan-jangan gadis ini tidak lagi mengenali mukanya yang kini bopeng dan tangan dijalari kudis. Sejak pulang dari Bengkulu, penampilan jasmani Malik yang dulu sedap dipandang mata sudah banyak berubah.
Ini masa kelamnya di usia anak menjelang dewasa. Ketika dia mulai sadar dengan modal gagahnya secara fisik, modal itu pulalah yang\\ sekarang rusak dan hilang. Kepercayaan dirinya sempat goyah. Untuk beberapa lama Malik berada dalam situasi penuh tekanan perasaan.
“Ya Allah. Lalu aku harus bagaimana?” katanya dalam hati, merenung, sambil memandang jauh ke arah danau Maninjau.
“Tiada jalan lain. Sudah sejauh ini aku terperosok ke dalam lubang. Tak ada lagi dasar lubang yang lebih dalam. Jalan yang tersedia hanya ke atas, memanjat ke atas.” Begitu dia dengar dirinya berbisik menyemangati dari dalam.
Situasi terdesak di bawah inilah yang lambat laun membangkitkan sebuah kesadaran baru, bahwa dalam kesendirian dan kekurangan ini dia bisa bangkit dan maju. Kekurangan fisik, sakit dan tidak disukai orang ini membuat dia ingin tumbuh dengan caranya sendiri. Cara yang dia tahu.
Cara tumbuh yang dia tahu adalah mengasah kepandaian dan membaca. Maka kembali dia tenggelamkan dirinya dalam membaca, membaca apa saja. Buku-buku tebal yang dia tidak mengerti pun dia baca saja. Buku berbahasa apa saja dia coba pula kunyah. Bidang apa saja dia coba selami. Ada yang dia mengerti, ada yang tidak setengah mengerti, ada yang dia tiada mengerti. Tapi, dia terus belajar.
Kepustakaan terbanyaknya adalah buku Bahasa Melayu dan buku sastra berbahasa Arab. Salah satu pengarang Arab yang dikaguminya adalah Sayyid Musthafa Lutfi al-Manfaluthi. Walau dia banyak membaca buku Arab, tidak membuatnya kearab-araban, dia tidak mau menjadi seperti orang yang membaca buku barat, lalu menjadi kebarat-baratan. Adapun buku Barat dibacanya juga melalui terjemahan Melayu atau Arab.
Di kala bosan membaca, dia kembali berkumpul dengan para pesilat dan mendengar para datuk-datuk berpidato adat. Dia nyaman hidup di dua dunia, dunia ide-ide yang hening di dalam lembar-lembar buku, serta dunia penuh bunyi dalam pidato-pidato adat Minang.
“Aku ragu wa’ang masih bisa bersilat. Jangan-jangan hanya bisa silat lidah,” ganggu Bujang, kawan sepermainannya. Teman-teman lainnya tergelak mendengar sindiran ini. Dia hanya menanggapi dengan senyum saja. Buku catatannya adalah barang paling berharga buat Malik saat itu. Kalau ada yang dia rasa penting dari buku yang dia baca, atau pidato yang dia dengar maka dia catat baik-baik.