Kamu adalah dinding kokoh yang ku butuhkan sebagai tempat bersandar paling nyaman.
***
Langit dikerumuni awan hitam, rintik air mulai turun membasahi ubun – ubun kepala, hujan semakin banyak menghujam langsung ke kepala, dan turun membasahi tubuh.
"Dimas, mending kita neduh dulu." Aya berseru ketika mulai kebasahan kena hujan diatas motor yang masih melaju. Setuju dengan pendapat Aya, Dimas membelokan motornya ke pinggir, masuk ke kumpulan motor pengendara lain yang sedang berteduh di pinggir jalan kemudian mereka turun dari motor dan bergegas masuk ke tempat yang lebih teduh.
Dimas melepas Jaket Denimnya lalu mencoba menutupi tubuh Aya yang menggigil karena udara puncak yang di selimuti hujan membuatnya menjadi semakin dingin.
Belum cukup dengan jaketnya, Aya menggosok – gosok tangan mencoba menemukan kehangatan, melihat hal itu Dimas pun menggosok tangannya lalu menggenggam tangan Aya sekuat mungkin.
Aya menatap lekat mata Dimas, mereka saling tatap selama beberapa detik kemudian tersadar dan mengalihkan pandangan satu sama lain.
Ya ampun, gue ga pernah gini sama Aldi, Dimas perhatian banget.
"Ay, lo seneng ga jalan sama gue?" pertanyaan Dimas memecah pikiran Aya.
"Kenapa lo nanya gitu? "
"Ay, gue nanya, harus nya lo jawab bukan nanya balik." Dimas berdecak sebal.
"Iya, gue seneng kok." Aya tersenyum simpul, sementara jantung Dimas sudah menari mendengar jawaban Aya.
Gue sayang sama lo Ay.
Kalimat itu sangat ingin Dimas sampaikan kepada Aya saat ini, namun sepertinya ini bukan waktu yang tepat, padahal romantisme hujan sedang menyelimuti mereka yang dilapisi dengan udara yang begitu dingin.
"Maaf ya Ay, ya gue gini, hidup apa adanya, ga punya mobil sama kaya mantan lo." Aya terkekeh mendengarnya.
"Dimas, emang selama gue jalan sama lo gue pernah ngeluh tentang itu? Engga kan?" jelas Aya. Senyum merekah pada mimik wajah Dimas hingga membuat lesung pipinya terlukis sempurna.
"Gue.." Dimas menggantung kalimatnya.
Kenapa susah banget buat ngomong itu si. Dimas merutuk dirinya sendiri.
"Hmm?? Lo mau ngomong apa Dimas?" Aya penasaran pada kalimat menggantung Dimas.
"Gue.. laper hehehehe." Kalimat yang sangat ingin Dimas sampaikan sangat sulit untuk keluar dari mulutnya, hingga kalimat lain lah yang keluar dari mulutnya.
"Ya ampun Dimas, tadi sebelum pulang kita makan dulu, masa iya sekarang laper lagi?"
"Engga tau, namanya juga laper dateng tiba – tiba kaya cinta." Aya menoleh pada Dimas yang membuatnya membelalakan matanya, sementara Dimas mengatupkan bibirnya, menyadari kebodohannya.
Kenapa?? Kenapa gua ngomong gitu astaga. Batin Dimas.
"Lo ngomong apa? " tanya Aya memastikan. Suara hujan yang sangat deras membuat Aya tidak begitu mendengar perkataan Dimas yang barusan.
"Engga." Dimas kemudian mengalihkan perhatiannya seraya menggosok – gosok tangannya. Hujan masih ramai turun menghujani Bumi, membunuh waktu yang harusnya digunakan untuk perjalanan pulang. Waktu sudah petang, sudah menunjukkan hari akan berganti, namun mereka masih harus menunggu reda.
"Kita bakal kemaleman pulang kayanya." Suara Dimas memecah keheningan antara mereka. "Iya mana masih jauh juga." Balas Aya.
"Lo udah bilang sama Ibu?"
"Udah, gue bilang kayanya pulang malem."
Dimas masih melihat derasnnya hujan, tiba – tiba teringat suatu tempat yang tidak jauh dari tempatnya sekarang, tempat yang dulu dia sebut sebagai rumah.
"Gimana kalo kita nginep aja."
"Hah? Lo mau nginep dimana? Cuma berdua?" Aya sontak terkejut mendengar kalimat Dimas.
"Ya engga, udah lo ikut gue aja, gue kenal suatu tempat disini."
"Dimas, lo ga macem - macem kan?" Dimas terkekeh melihat ekspresi Aya.