Pernah, adalah kata yang mungkin mampu menggali luka lama yang sudah mengering
Kita pernah, sebuah kalimat sederhana yang bisa membuat kenangan, ingatan pahit seseorang menjadi terbuka kembali hingga menimbulkan rasa sakit tanpa sadar.
***
"Aww pelan – pelan." Dimas meringis kesakitan saat tangannya dirawat oleh Aya, Setelah tadi sore permasalahan mereka selesai, Aya mendapati tangan Dimas terluka akibat pecahan kaca yang tempo hari Dimas hancurkan.
"Diem – diem, jangan manja." Tandas Aya yang masih fokus melilit perban pada tangan Dimas. Mereka berdua kini sudah ada dirumah Aya, seperti biasa, Bu Sarah dan Ka Nia hari ini pun tidak ada dirumah, karena jadwal Ka Nia yang tidak menentu untuk melakukan control kesehatan ke rumah sakit.
Terlihat begitu banyak luka Dimas yang benar – benar terlihat itu pada tangannya, bagaimana mungkin bisa Dimas tidak berniat untuk mengobatinya?
"Lagian lo ngapain pake nonjok kaca si?" Tanya Aya, ada rasa khawatir dari nada bicaranya, pandangannya tidak lepas dari tangan Dimas. "Tangan – tangan gue suka – suka gue lah." Dimas menjawab ketus. Aya mendelik, lalu memukul tangan Dimas yang masih terluka hingga membuat Dimas meringis semakin kesakitan. “–aw.”
"Lo ngapain si Ay?" Dimas menarik tangannya, meringis menahan sakit.
"Tangan – tangan gue suka – suka gue lah." Aya membalas ketus, sambil melirik jahil Dimas yang masih memegangi tangannya. Dimas mendekus kemudian mengacak acak rambut Aya, dengan cepat gadis itu menyergah.
"Apa?" Dimas mencibir.
"Lo rese Dimas." Aya berdecak, kemudian bangkit untuk menggelitik Dimas hingga membuat Dimas tergelak geli. "Oke – oke cukup, plisss." Dimas sudah memohon, tapi Aya masih tidak mendengarnya, ia masih mencubit dan menggelitik Dimas, hingga Gadis itu kehilangan keseimbangan.
Aya hampir terjatuh, namun dengan gerakan cepat, Dimas menariknya. Punggung Dimas yang menempel pada ujung sofa, menopang tubuh Aya yang hampir terjatuh. Wajah mereka kini saling bertemu, yang tersisa hanya ruang nafas diantara mereka berdua.
Menyadari sama – sama menyadari, tatapan mata mereka telah berubah, tatapan mata yang kembali seperti sedia kala hingga senyum merekah di wajah mereka masing – masing. Tanpa aba – aba, Aya pun meringkuh kepelukan Dimas hingga membuat pemuda itu menahan nafasya agar degub jantungnya tidak terdengar.
"Jangan sakitin diri lo lagi ya." Aya mengeratkan pelukannya.
"Kalo lo yang minta bakal gue lakuin kok.” Dimas tersenyum lebar. “Btw, lo udah meluk gue berapa kali ya dari sore? Mentang – mentang gue wangi." Dimas masih ingin menikmati momen itu, namun Aya tersentak melepas pelukannya, memaksa Dimas terseret ke alam realitas.
"Kata siapa lo wangi, lo bau belom mandi pasti dari kemarin." Protes Aya cepat, menutup rasa canggungnya. Pemuda di hadapannya hanya tergelak geli, sebelum bangkit dari tempatnya.
"Gue pulang dulu ya, udah mau malem." Dimas menuding jam dinding yang menunjukkan pukul 7 malam. Aya ikut bangkit dari tempatnya, berniat mengantar Dimas sampai ke depan teras.
"Hati – hati pulangnya, jangan sampe kena dikerjain lagi." Aya masih melangkahkan kakinya sampai ke tempat Dimas.
"Besok gue anter ya." Ujar Dimas seraya memakai helmnya.
"Gausah, lo fokus aja dulu sama kerjaan lo, sama istirahat yang banyak."
"Emang kenapa? Lo ga mau kepergok lagi kerja sama, sama mantan?"
"Gausah bahas mantan deh, gue lagi ngomongin lo juga." Aya berdecak sebal. Dimas hanya terkekeh mendengarnya. Ditempatnya, Dimas menyalakan mesin motor. Ia tersenyum sebentar pada Aya, Gadis itu pun membalasnya dengan tulus. Kemudian Dimas beranjak dari tempatnya yang lama kelamaan sosoknya hilang ditelan oleh jarak.
***