Aku akan terus berharap, walau hanya ada harapan kosong disana.
Setidaknya, aku masih bisa berharap saat aku putus asa terhadap semua yang telah ku lakukan terasa sia sia.
***
Karena tidak ada keluarga yang bisa dihubungi, Aya memutuskan untuk memberi tau Salma kabar tentang Dimas. Selama dua hari ini mereka bergantian menjaga Dimas, dan Salma sudah mendengar semuanya dari Aya.
Sudah dua hari berlalu sejak kejadian Dimas kecelakaan. Aya harus menuju ke kampus hari ini karena persiapan acara kampus semakin dekat, padahal hari ini ia ingin menemani Dimas yang sedang koma dirumah sakit. Namun keadaan tidak mendukungnya.
Hari ini Salma yang menemani Dimas dirumah sakit atas izin Rizky suaminya. Dimas sudah boleh dijenguk di dalam ruangan walaupun keadaan masih koma.
Salma tak hentinya khawatir pada Dimas karena melihat sahabatnya tidak berdaya seperti itu, ingatannya yang terlempar pada sosok Dimas yang kuat membuat air matanya lolos begitu saja dari pelupuk matanya.
Kini tangannya meraih genggaman tangan Dimas. "Lo kuat kok Dim, jadi gue mohon lo harus kembali."
Salma merapal tangan Dimas lalu mengangkatnya hingga berada didepan wajahnya. Ia mencium punggung tangan sahabat kesayangannya. "Lo inget ga si Dim? Dulu lo selalu nguatin gue kalo kondisi gue lagi jatuh dan ini yang lo lakuin, lo cium tangan gue lo bilang kalo itu tugas lo sebagai sahabat."
Komunikasi itu berlangsung satu arah tidak ada respon sama sekali. Hanya suara monoton dari bedside monitor yang menyahutinya.
"Tapi ternyata lo mendem perasaan ke gue dan lo kuat banget bisa bertahan selama itu." Kini Salma tersenyum pahit dan menyeka air matanya.
"Tapi semuanya udah berlalu, Gue udah nikah dan lo pun sedang mengejar cinta lo, maaf kalo selama ini gue ga bisa jadi sahabat yang baik ya Dim." Suasana hening dikamar Dimas yang hanya ditemani suara dari monitor membuat dirinya tenggelam dalam luka yang begitu dalam. Baginya, Dimas menjadi peran penting dihidupnya selama ini, meski sebatas sahabat.
Salma masih ingin menikmati momen itu. Sampai suara pintu yang bergeser memecah suasananya. Pintu ruang ICU terbuka pertanda seseorang masuk keruangan, Salma menoleh dan mendapati Riska sudah berdiri disana.
Salma bangkit dari tempatnya mempersilahkan Riska untuk duduk namun Riska menolak. "Gue cuma sebentar kok, Cuma mau pamit sama Dimas." Pernyataan itu dijawab anggukan paham dari Salma.
Riska melangkah lalu meraih tangan Dimas diatas kasur yang sedang tidak berdaya.
"Dimas, harusnya gue yang berbaring disini sekarang, tapi karena lo yang nolong gue, jadinya lo yang terbaring disini." Ujar Riska dengan suara getir. Sama seperti sebelumnya, siapapun yang bicara dengan pasien disini pasti hanya disahuti hening.
"Gue pulang duluan. Cepet bangun ya, gue kangen sama lo." Kini tangan Riska mendaki puncak kepala Dimas, lalu mengusap rambutnya.
Setelah selesai dengan urusannya, Riska bangkit dari tempatnya lalu beralih pada Salma dibelakagnnya. "Jagain Dimas ya Sal."
Salma mengatupkan bibirnya sebelum menjawab Riska dengan anggukan lalu menepuk pundak Riska. "Gue harap lo berubah kedepannya." Ujar Salma membuat Riska menatap Salma dengan wajah datar. Riska membagi tatapannya sebentar pada Dimas yang tertidur dan sosok didepannya.
"Gue akan terus berusaha buat ngejar Dimas kok Sal." Jawab Riska, Salma pun menurunkan pandangannya ke lantai sebelum akhirnya hanya mengangguk – angguk paham. Riska pun melangkah keluar ruangan.
Salma mengerti, mau bagaimanapun Riska hanya akan menyakiti dirinya sendiri, Dimas tidak pernah mencintainya, kecuali jika semesta bertindak lain.
Pemuda yang dikenal sebagai kakaknya Riska sudah menunggu di balik bangkar kaca ICU menunggu Riska yang sedari tadi didalam.
Pemuda itu terus menatap Dimas seperti mengunci visualnya dalam ingatan, sebelum akhirnya meninggalkan tempat itu setelah Riska ada disampingnya.
***
Di perjalanan pulang, Riska dan Kakak nya tampak sedang berbincang – bincang karena kakaknya yang bertanya – tanya soal kejadian kemarin sekaligus menanyakan siapa Dimas itu.
"Dia tuh mantan aku ka , waktu SMA aku pacaran sama dia tapi Dimasnya selalu prioritasin si Salma itu sahabatnya." Gerutu Riska.
"Dimas itu gapunya orang tua?"
Riska tampak berpikir sebentar lalu menggelengkan kepalanya, jika diingat ingat Riska memang tidak pernah bertemu dengan orang tua Dimas sama sekali.
"Waktu masih Sekolah si Dia pernah bilang pokoknya dia itu anak panti asuhan yang tinggal sama neneknya di panti itu." Mendengar kata panti, pemuda itu tampak memicingkan matanya.
"Tapi ka, dia tuh emang mirip banget sama lo."