Aku selalu berharap semuanya bisa kembali seperti sedia kala walaupun aku tau, bahwa sebuah piring yang sudah pecah tidak mungkin bisa bersatu kembali dengan utuh seperti yang kubayangkan.
Pada akhirnya, aku hanya bisa mendamba kehangatan yang hanya ada dalam imajinasikusemata yang mustahil menjadi wujud nyata yang ku rasakan.
"Udah bener kan?" Dimas memastikan pada Aya gambarnya sudah sesuai keinginannya atau belum.
"Ih belum, gue keliatan gendut, ulang - ulang. " protes Aya sambil memberi kembali handphonenya pada Dimas, sementara pemuda itu mendengus jengah, ini sudah foto yang ke lima kali.
Salma hanya terkekeh geli melihat keajaiban didepan matanya itu, mereka memang terlihat serasi ketika saling bercanda seperti itu.
Dimas memang masih belum mengingat Aya, hanya saja gadis itu yang memaksa keadaan agar berpihak padanya, ia mengaku sebagai fans Dimas tapi nyatanya, Dimas justru dikerjain seperti ini!
Gue siapa si sebenernya?! Dimas bersungut dalam hati.
"Senyum gue kurang natural ah." Gerutu Aya lagi ketika melihat gambar yang baru saja diambil Dimas. Sementara Dimas sudah lelah dikerjai oleh orang yang mengaku sebagai fansnya itu.
Jeritan di handphone Salma memecah perhatiannya, tertera nomor yang pernah ia hubungi dilayar ponselnya. Salma bangkit dari tempatnya berniat agak menjauh dari mereka berdua kemudian mengangkat teleponnya.
Dimas penasaran pada Salma yang tiba - tiba bangkit seperti itu, ia hanya bisa menatap punggungnya, tidak bisa mendengar percakapannya dengan orang di telepon.
"Sekali lagi Dim." Suara Aya memecah lamunannya, gadis itu terlihat sedang merapikan rambutnya sekali lagi.
"Ini terkahir." tukas Dimas sebelum mengambil gambarnya yang dijawab Anggukan sok imut dari Aya.
Sebenarnya Aya tidak ingin melakukan ini, ia hanya berharap agar Dimas bisa mengingat kejadian yang menjengkelkan bagi dirinya, Aya sadar mungkin akan sulit membangkitkan ingatan Dimas, makanya ia hanya ingin membentuk memori baru untuknya, agar mereka bisa terus bersama.
***
Pemandangan yang menimbulkan haru tersendiri baginya, bahkan seorang abang sepertinya bisa bersikap lembut pada seorang ibu. Pemuda itu meraih sisir yang ada diatas nakas kemudian menyisir rambut wanita paruh baya dihadapannya.
Pemandangan yang membangkitkan haru sendiri baginya, pemuda itu memang bukan abang kandungnya, namun mereka begitu dekat.
"Sini." Pemuda itu menepuk ruang kosong yang ada disampingnya, duduk didekat Ibundanya.
Waktu begitu cepat berlalu, Riska teringat ketika ia pertama kali bertemu dengan abang angkatnya, saat itu mereka masih sangat kecil. Riska menyelami ingatannya.
***
"Ayo, kenalan sama abang kamu. " ujar seorang pria yang dikenal sebagai Ayah Riska.
"Riska." dengan gerakan kikuk, tangan itu terulur didepan wajah seorang anak laki - laki.
"Andika Candra, biasa dipanggil Dika." Anak itu menyambut uluran tangan Riska dengan senang hati. Saat itu usia Dika sama dengan Riska, hanya berbeda beberapa bulan darinya.
Perasaan hangat mengalir Ditubuh Riska ketika tangan mereka saling bersalaman, sepertinya siapapun bisa merasakan hal yang sama ketika bertemu dengan pemuda bernama Andika Candra ini.
Meskipun bukan saudara kandung, tapi mereka begitu dekat, layaknya seorang Kakak yang sayang terhadap adiknya, Dika selalu senantiasa menjaga dan melindungi Riska
Dika adalah anak yang diadopsi dari panti asuhan oleh keluarganya Riska.