Masa lalu yang menyakitkan terkadang membuat seseorang kehilangan nuraninya.
***
Dika menarik selimut untuk menutupi tubuh wanita paruh baya itu yang sekarang sudah berbaring tertidur pulas diatas ranjang. Setelah menyuapinya makanan yang sudah disediakan dan meminumkan obat penenang pada wanita paruh baya itu, ia berpamitan dan menitipnya pada suster yang biasa menjaganya.
"Lo baik – baik aja bang?" tanya Riska setelah mereka berdua memasuki mobil untuk kembali pulang. Melihat hal tadi tentu membuat Riska tersadar, bahwa sebenarnya Dika sedang berperang dengan batinnya, selama ini ia selalu ada untuk ibu kandungnya yang mengidap gangguan mental itu, namun kehadirannya selalu dianggap sebagai orang lain untuk menenangkannya. Sudah kali kesekian Riska melihat hal pilu seperti itu.
Dika menghela nafas berat, tatapannya pergi ke udara kosong yang ada di depannya. Riska hanya menatap sosok itu lamat – lamat, rahangnya tetap terlihat tegas meskipun ia tau, didalam hatinya pemuda itu sedang tidak baik – baik saja.
Sadar akan hal itu, Riska mendekatkan tubuhnya, ia raih tubuh pemuda itu kemudian mendekapnya. "Kalo lo butuh sesuatu bilang gue ya bang, jangan sungkan, kita kan saudara walapun ga ada ikatan darah."
"Menurut kamu, keluarga saya bisa utuh lagi?" suara pemuda itu terdengar parau, ia bahkan menanyakan hal yang sama setiap saat ketika berada dikondisi seperti sekarang. Riska beringsut, beralih menatap kedua mata Dika.
"Lo masih punya gue, Ayah, dan Ibu untuk tempat lo pulang kok bang." Mendengar jawaban Riska, pemuda itu lantas meraih kembali tubuh Riska.
"Thanks." Ia menaruh dagunya diatas pundak Riska, ia ingin beristirahat sebentar, setelah lelah berperang dengan batinnya sendiri.
Riska mengusap punggung pemuda itu, berharap bisa mengusir kegundahannya walaupun sedikit, setidaknya masih ada yang bisa ia lakukan sebagai adik angkatnya.
***
"Ngapain Ayah kesini? Masih inget punya anak?" Perkataan Dimas tentu saja membuat siapapun terkejut medengarnya, terkhusus bagi Aya. Ia bahkan baru tau kalau sosok yang ia lihat dari tadi adalah Ayahnya Dimas.
Sosok yang dikenal dengan nama Kusuma Candra itu selalu tidak ada di sisinya sejak kecil, biarpun sesekali Dimas menemuinya, tapi hubungan antara Ayah dan anak itu tetap saja renggang, sejak perceraian kedua orang tuanya, sejak meninggalnya almarhumah neneknya Dimas, pemuda itu hanya hidup seorang diri, tanpa ada kehadiran sosok keluarga satupun.
Pak Kusuma hanya bisa menunduk lalu menghela nafas berat, ia sadar atas kesalahan besarnya terhadap anaknya itu, ia sadar bahwa ia tidak pernah menjadi seorang Ayah yang baik untuk anak – anaknya, meskipun kekayaan yang ia miliki sanggup untuk membiayai hidup anaknya namun tetap saja, seorang anak tetap butuh kasih sayang seorang orang tua bukan?
Mengerti dengan suasana yang tidak mengenakan seperti ini, Salma mengajak Aya pergi keluar, berniat memberikan ruang privasi untuk Ayah dan Anak itu.
Hening masih menyelimuti mereka, sampai Dimas adalah orang yang memecah keheningan itu. "Semua orang bilang, Saya hilang ingatan, tapi kenapa saya masih ingat dengan sosok Ayah? Padahal kalau bisa, saya mau hilang ingatan tentang Ayah juga."
Kalimat yang terlontar dari mulut Dimas menjadi sebuah pisau tak kasat mata yang menusuk jantung Pak Kusuma, sebenarnya berlaku juga untuk Dimas yang mengatakan hal tersebut.
"Maaf." Ucap Kusuma lirih tanpa menatap Dimas.
"Selama ini Ayah hanya bisa mengucap kata maaf, ga ada kata lain yang terucap dari mulut Ayah selain kata itu," Dimas menarik nafas sebentar sebelum melanjutkan, berniat mencari oksigen. "Bahkan sekarang Ayah ga bisa liat mata Dimas, sejak dulu kalau saya ketemu Ayah, saya cuma bisa liat mata Ayah yang fokus sama kerjaan Ayah diatas meja, gapernah saya liat mata Ayah secara langsung."
Selaput bening sudah melapisi mata Kusuma yang mendengar penuturan anaknya, kata – kata Dimas benar adanya, dan nyatanya memang seperti itu, ia baru menyadari bahwa mereka benar – benar tidak pernah berkomunikasi sama sekali, bahkan untuk melihat satu sama lain pun tidak pernah, bahkan untuk seorang Ayah, ia terlalu sering melihat punggung Dimas sebelum hendak meninggalkannya diruang kerjanya sebelum sosok itu menghilang dibalik pintu.
Dadanya mulai terasa sesak ketika ia mengingat hal itu, nafasnya tersekat, ia ingin sekali bersuara namun tidak bisa, bahkan tidak berani untuk menatap sosok anaknya.
"Dimas, Ayah.." ia tidak bisa melanjutkan kalimatnya karena selanjutnya yang keluar hanya suara lirih yang hanya bisa didengar oleh angin lewat, rasanya tidak pantas ia menyebut dirinya sebagai seorang Ayah.
"Sekarang apa? Bukanya Ayah harus pergi kerja lagi?" tandas Dimas seraya melayangkan pandangannya keluar jendela.
Kusuma meraih pundak Dimas hingga membuat pemuda itu menoleh, mata mereka saling bertemu, dadanya terasa begitu sakit ketika melihat mata Ayahnya yang kini menatapnya langsung seperti ini, gumpalan hangat sudah siap jatuh dari sudut matanya kapanpun.
Sebelum sampai kesini, Kusuma selalu berpikir ribuan kali, kata – kata apa yang akan dia sampaikan untuk Dimas. Sebagai seorang Ayah, ia terlalu canggung untuk bertemu dengan anaknya.