Tidak perlu bermusuhan pada sesuatu yang pernah membuat sakit, cukup dengan mensyukurinya, maka seorang manusia bisa mempelajari sesuatu atas rasa sakitnya.
Setelah itu berterima kasihlah pada rasa sakit itu yang akan membuatmu menjadi pribadi yang lebih baik lagi.
***
Setelah menyambut kepulangan Dimas dengan pesta kecil – kecilan akhirnya mereka semua membiarkan Dimas untuk beristrihat karena tidak baik jika pesta masih dilanjutkan sampai larut malam, mengingat kondisinya yang belum pulih total. Setidaknya mereka bisa membuat Dimas sedikit senang.
Satu persatu dari mereka pun kemudian pamit dan pergi pulang. Suasana apartemen yang tadinya begitu ramai kini hanya menyisakan sang pemilik, Bi Sinta, Dinda, dan juga Pak Kusuma yang memutuskan untuk menginap satu malam di apartemen anaknya.
Apartemen Dimas lumayan besar, biarpun hanya terdapat satu kamar, tapi ruang tengah yang tidak jauh dari dapur itu sangat luas, bisa membuat pesta kecil – kecilan seperti tadi.
Semua orang didalamnya sudah tertidur pulas, Dimas tidak mau mengalah pada Bi Sinta maupun Dinda yang sebelumnya memutuskan untuk tidur disofa, Bi Sinta dan Dinda ia paksa untuk tidur didalam kamarnya, tidak ada yang bisa membuat Dimas mengalah. Dan akhirnya mereka hanya bisa menuruti permintaan Dimas.
Setelah puas menjelajah apartemen anaknya, Pak Kusuma sedang duduk dikursi dan masih menatap nanar kearah luar jendela yang pemandangannya mengarah langsung pada citylight Jakarta dimalam hari. Ia memikirikan bagaimana sepinya hidup Dimas selama ini, ia membayangkan Dimas sedang duduk dan memandang ke arah luar jendela persis seperti yang dirinya lakukan ketika menyendiri saat ini.
Meskipun apartemen ini adalah fasilitas pemberiannya pada Dimas, namun tetap saja, seorang diri tinggal disini dan tanpa sosok keluarga pasti sangat sepi suasananya. Dadanya mulai terasa sesak, nafasnya tersekat, air matanya luruh tanpa memberi aba – aba. Ia menyadari betapa buruk dirinya menjalani peran sebagai orang tua, padahal semesta sudah mempercayakan kehadiran anak – anak padanya.
Ia diberi anugerah sebuah cinta tapi tidak memaksimalkan rasa syukurnya, ia dibutakan oleh Dunia, hingga akhirnya anugerah terindah itu menolak dirinya sendiri. Jikalau ia bisa mengulang waktu, ia ingin sekali bisa mengulang.
Andai saja dulu dirinya lebih mementingkan masa depan anak – anaknya daripada perasaannya sendiri, pasti mereka masih memiliki sesuatu yang bisa disebut sebagai rumah, tempat paling nyaman untuk bersandar.
Anak – anaknya harus belajar lebih tegar diusianya yang masih dini, hingga sekarang mereka semua sudah Dewasa, ia merasa jika begini terus, apakah ia akan mati dengan tenang nantinya?
Semua pemikiran negatif pun menghantam kepalanya, ia tidak sanggup membayangkannya, akhirnya ia hanya menangis tanpa suara, langit yang mulai menumpahkan hujannya semakin melengkapi rasa sakitnya, ia merasa semesta menghakiminya saat ini dalam kesakitan yang begitu dalam.
"Maaf." Suara lirih itu hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri.
Pada siapa ia meminta maaf? Ia hanya bisa terus mengucap kata maaf tanpa bisa memperbaiki keadaan. Karena semesta masih belum mengizinkan.
Bahunya bergetar, ia mengusap wajahnya penuh penyesalan. Rasa sesal seorang Ayah yang mungkin ia pun tidak bisa memaafkan dirinya sendiri. Ia terus tenggelam dalam penyesalannya hingga akhirnya lelah setelah berperang dengan batinnya. Tidak lama kemudian, tanpa sadar ia pergi menuju ke alam mimpi.
***
Dari jarak yang tidak begitu jauh darinya, ia masih membuka matanya, tidak bisa beristirahat dengan tenang, ia hanya bisa melihat dalam kegelapan. Ia mendapati seseorang yang masih duduk diatas kursi yang masih menatap jendela.
Bayangannya terpantul melalui jendela, ia melihat, tidak bergerak dan masih memutuskan untuk memperhatikannya dari kejauhan, setelah bahu orang itu bergetar, orang itu pun seperti lelah setelah berperang dengan batinnya sendiri.
Sudah lama sekali orang itu tidak bergerak dari tempatnya yang masih menatap nanar ke arah jendela, hingga waktu menunjukkan pukul satu malam, orang itu terpejam, tidak menunjukkan pergerakan apapun.
Setelah meyakinkan bahwa orang itu benar – benar tertidur pulas hingga mengeluarkan suara dengkuran kecil, ia bangkit, ia menghampiri orang itu dan mendapati wajah yang sudah lumayan keriput itu, terlihat begitu lelah setelah berperang dengan batinnya sendiri.
"Apa tadi ia berkata maaf?" gumamnya lirih hingga hanya bisa didengar olehnya sendiri.
Dimas menyelimuti tubuh Ayahnya yang sudah tertidur pulas dan sepertinya sudah berada di alam mimpi dengan begitu tenangnya, berusaha memberikan kehangatan pada sang Ayah.
Perasaannya masih sama, ia masih belum bisa memaafkan Ayahnya, semakin dalam ia mengamati wajah Ayahnya, semakin dalam rasa bencinya. Jikalau ia bisa meminta pada semesta untuk tidak mengingat sosok Ayah didepannya, ia ingin sekali, untuk sekali saja.
Bukan. Bukan karena saking bencinya, justru ia ingin lupa pada sosok itu karena ingin menghilangkan rasa bencinya walaupun itu akan menyakiti siapapun, namun ia pikir, hanya itu satu – satunya cara.
Dimas melirik jam yang bertengger didinding dan memasuki waktu yang semakin larut, ia memutuskan untuk pergi ke toilet dan mengambil wudhu, ia lupa kapan terakhir kali dirinya bercerita dengan yang maha kuasa sebelum dirinya rusak seperti ini, kehilangan separuh ingatannya mungkin menyakiti hati orang lain tanpa ia sadari, membuat hatinya tidak tenang sepanjang hari.
Ia menggelar sajadah dan mengarahkannya langsung pada kiblat, air masih mengalir jatuh dari ujung rambutnya, dengan segera ia menyelesaikan solat malamnya, satu hal yang ia syukuri, ia tidak kehilangan ingatan tentang penciptanya sendiri.
Air matanya luruh sepanjang dirinya menyelesaikan solat malam. Yang kemudian disusul dengan doa doa yang ia panjatkan.
***