Entah aku harus menganggap ini keajaiban atau Lelucon?
Yang hanya aku tau, semesta dengan mudahnya memberikan semua kejadian yang tidak masuk akal.
***
Sejak pertama kali bertemu dengan Nia dirumah sakit, ia tau bahwa cepat atau lambat mereka akan bertemu lagi entah secara disengaja atau tidak, sejak awal Dika selalu menghindar untuk bertemu langsung dengannya.
Ia menghindar karena mengetahui, bahwa Nia pasti akan menuntut meminta penjelasan kenapa ia menghilang dari hadapannya selama ini, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan itu adalah alasan ia menghindari Nia saat mereka pertama kali bertemu.
Pemuda itu masih memainkan kedua jarinya seraya menatap ke bawah, bingung harus bicara apa dengan gadis di hadapannya saat ini.
"Kenapa, Dika? Kenapa kamu hilang begitu lama?" Suara Nia lah yang pertama kali memecah keheningan diantara mereka.
Dika menarik nafas panjang kemudian membuangnya secara perlahan sebelum membuka suaranya. "Ga semuanya bisa dijelasin sekarang."
"Kenapa?"
"Karena saya pun belum bisa berdamai sama masa lalu saya." Nia menghela nafas panjang setelah mendengar jawaban Dika, ia pun sadar bahwa mungkin dirinya juga tidak layak untuk mengetahui masa lalu pemuda itu.
"Dari mana kamu kenal sama adik aku?" tanya Nia mencoba mengalihkan topik pembicaraan yang sensitif.
"Kebetulan aja, saya udah beberapa kali ketemu sama dia, dan yah, seperti yang kamu liat sekarang – " Dika menjeda kalimatnya saat menatap Nia sebentar.
"Kita cuma partner kerja aja kok, buat acara kampusnya dia." Nia mengangguk – angguk paham setelah mendengar penjelasan Dika, dalam hatinya, ia sedikit merasa lega, akhirnya ia bisa bicara lagi pada pemuda itu, pemuda yang selalu menjadi tanya dalam hatinya.
"Sejak awal saya ketemu Aya, saya merasa kalau dia akan menuntun saya pada sesuatu, dan ternyata malah menuntun saya untuk bertemu lagi dengan kamu." Bicara soal Aya, ia teringat pada seseorang yang berparas mirip dengan Dika, ketika mengingatnya, ia ingin sekali menanyakan hal itu.
Nia menggigit bibirnya sebelum bertanya lagi."Kamu itu punya saudara?”
Dika mengangguk pelan sebagai jawaban, Nia tersenyum.
“Aku, apa aku boleh..?” Nia menggantung kalimatnya, dari tatapan mata, Dika bisa memahaminya. Pemuda itu merentangkan sebelah tangan, kemudian meraih kepala Nia, ia sandrakan pada pundak kanannya.
Nia masih tidak percaya, akhirnya ia bisa bersandar lagi pada Dika. Mengingat terakhir kali mereka begini adalah ketika mereka masih remaja. Nia bernapas lega, akhirnya bisa membayar semua kerinduannya.
“Maafkan saya, pernah pergi dari kamu tanpa mengucapkan apa – apa.” Dika menaruh dagunya diatas kepala Nia, ia mencium aroma Nia yang tidak berubah sejak dulu.
“Jangan pergi lagi ya, Dika.”
Malam itu hanya ada langit, bulan, dan bintang yang menjadi saksi dari pertemuan mereka yang sudah lama menanam rindu, walapun tidak punya status apa – apa sejak awal. Nia bersyukur karena telah bertemu kembali dengan Dika, pemuda pertama yang membuatnya peduli pada seseorang.