Langkah Cinta

YanuarSandieWijaya
Chapter #41

Lebih Dari Permohonan

Pada akhirnya, manusia hanya bisa melakukan kesalahan fatal lalu memohon ampun pada semesta.

Karena lelah dengan semesta yang berhasil menyiksa mereka dengan perasaan bersalah yang selalu menghantui.

Beruntungnya, mereka yang masih memiliki hati nurani mampu merendah untuk memohon pada semesta.

***

Sejak kejadian Dimas yang bertemu dengan kembarannya, ia jadi semakin penasaran, ada apa sebenarnya pada mereka berdua, Gadis itu mencoba menebak teka – teki yang ia lihat selama ini, Dimas dan Dika, tentang Ayahnya, keluarganya, Panti Asuhan. Semuanya sudah ia temui kecuali satu, Ibunda Adimas Candra yang sama sekali ia Aya belum ketahui keberadaannya, ia merasa harus menyusun potongan – potongan ini.

Saat ini, gadis itu sudah menemui Salma dan Rizky, cerita Aya pun mampu menimbulkan tanya bagi Salma.

“Kalo gitu sekarang kita coba ketemu sama Ibunya Dimas.” Saran Rizky pada mereka.

“Boleh tuh, tau tempatnya?” tanya Aya.

“Kalo belum pindah rujukan, dia pasti ada disana.” Tukas Salma seraya bangkit menggandeng Rizky dari tempatnya, diikuti oleh Aya yang mengekori. Mereka bertujuan untuk menemui Bunda Dimas.

***

“Apa maksud kamu?.” Suara lirih itu terdengar, sesak menghantam dada Dika.

“Maaf Bun, saya Cuma mau pengakuan dari Bunda.” Dika sudah berlutut didepan Ibunya, susasanya tampak begitu emosional.

Setelah Dika bertemu dengan Dimas kemarin, ia tau, bahwa tidak lama lagi Dimas akan bertemu dengan ibunya, maka dari itu ia memutuskan untuk mengaku saat ini, mengaku bahwa dirinya selama ini bukanlah Dimas. Ia tidak mau jika ibunya mengetahui hal itu dari orang lain.

“Dika itu ga ada, suami saya ga ada, keluarga saya Cuma Dimas anak saya seorang, ga ada, semuanya mati!” Bu Sri masih menyergah untuk melepas pelukan Dika yang berlutut.

Sementara Dika masih bersikeras tidak akan melepaskan pelukannya sebelum mendapat pengakuan dari Ibundanya.

“Lepasin! Lepasin saya! Saya butuh Dimas! Saya mau minta maaf sama dia! Lepasin!” Nada suara Bu Sri terdengar tinggi, namun getirnya tetap terdengar.

“Saya mohon Bun! Saya mohon.” Kalimat lirih itu tetap tidak bisa menahan amukan dari Bundanya.

Detik selanjutnya, ia menendang putranya itu, ia ambil fas bunga diatas nakas hingga ia pukul ke kepala putranya sampai pecah, wanita paruh baya itu melakukan hal yang sama persis seperti yang ia lakukan pada Dimas bertahun – tahun yang lalu, Dimas yang masih kecil dan tidak tau apa – apa.

Darah segar mengalir dari kepala Dika, ia tidak ingin melawan ibundanya, ia biarkan Ibundanya melampiaskan rasa sakitnya itu, seolah ia lah yang bertanggung jawab atas rasa sakitnya selama ini.

“Bundaaa..stop!” suara seorang gadis menghentikan gerakannya, saat menoleh, wanita paruh baya itu mendapati sosok Riska disana. Gadis itu menghampiri Dika yang tersungkur diatas lantai, ia berusaha menolongnya.

“Apa dengan begini semuanya bisa selesai? Enggak bun! Dika juga anak Bunda. Bunda harus sadar itu!”

Plakk!

Sebuah tamparan keras mendarat dipipi Riska, gadis itu mengerjap sebelum mengambil kembali kesadarannya, ia memegangi pipinya yang masih panas bekas tamparan dari Bunda tirinya.

“Kamu gapapa?” khawatir tergambar jelas pada suara Dika yang sudah memegangi Riska.

“Gue gapapa bang,” Jawab Riska, bibirnya mulai bergetar.

“Bang, kepala lo.” Riska terbeliak setelah mendapati luka dikepala pemuda itu.

Detik selanjutnya, Bu Sri mengambil cangkir diatas meja, sebelum sempat ia melempar ke arah Riska, Pemuda itu sudah memunggunginya, ia melindungi adik tirinya dari lemparan cangkir yang melayang langsung ke arahnya, gelas itu menghantam kepala Dika hingga terdengar suara pecahan di kepalanya.

“Arrgghhh.” Dika meringis kesakitan, Riska yang menyadarinya lantas berteriak meminta tolong pada perawat sekitar.

Dengan cepat para perawat itu memasuki kamar, sebagian membantu untuk menolong Dika, dan sebagian mencoba menenangkan Bu Sri dengan obat bius.

“Kita kerumah sakit sekarang ya bang.”

***

Dimas masih menatap nanar ke arah langit – langit di kamarnya, ia terbayang pertemuannya dengan seseorang yang mirip dengannya kemarin, hal terakhir yang ia ingat adalah, tatapan kebencian dari orang itu,

Dimas merasakan pusing di kepalanya, saat mengingat kejadian itu, ia terus dihantui oleh bayang – bayang mimpinya selama ini, mimpi tentang kehancuran seorang keluarga yang ia lihat saat itu.

“Aa Dimas, yuk makan, makanan udah siap di meja.” Suara Dinda terdengar dari ambang pintu kamarnya yang setengah terbuka.

Lihat selengkapnya