Langkah Cinta

YanuarSandieWijaya
Chapter #42

Harga Sebuah Maaf

Ego yang tidak bisa dikalahkan, bisa saja menjadi kehancuran bagi dirinya sendiri maupun orang lain.

Terkadang, kebohongan adalah awal dari segala kehancuran.

Pertanyaan mereka terjawab oleh masa lalu yang ternyata tidak diinginkan.

***

“Dimana mereka? selama ini Dimas dihantui sama mimpi aneh itu, Tolong kasih tau saya.” Getir dari suaranya terdengar, ia meminta penjelasan setelah mendengar kalimat Ayahnya.

“Sepertinya sudah saatnya kamu tau segalanya, alasan dibalik pecahnya keluarga kita.” Suara Pak Kusuma membuat Dimas mematung di tempatnya, padahal kondisi ingatannya belum pulih sempurna, tapi ia ingin mendengar fakta dibalik pertemuannya dengan saudara kembar itu.

“Apa tidak apa – apa?” Tanya Bi Sinta memastikan,

“Siapa tau ini bisa mengembalikan semua ingatannya.” Pak Kusuma menoleh sebelum menunjukkan senyum.

“Tapi..”

“Dan ini, demi kebaikannya. Siapa tau ada yang bisa diperbaiki dari sini.” Bu Sinta hanya bisa mengangguk mendengar pernyataan Kusuma.

Pak Kusuma melangkah mendekat dan memilih duduk berhadapan dengan Dimas sekarang. Pemuda itu memperbaiki posisi duduknya, bersiap mendengar jawaban dari pertanyaannya selama ini.

“Sebelumnya, Ayah ingin meminta maaf bahwa selama ini saya jauh dari kalian semua.” Pak Kusuma menghela nafas, karena ia tau, penuturannya akan membangkitkan luka lama.

***

“Yang saya lihat, ia dekat dengan seseorang pria lain.” Seorang pria melaporkan hal yang ia selidiki selama ini.

Berbulan – bulan Bu Sri menjalin hubungan bersama orang lain, seorang pria sering datang kerumah yang ia akui sebagai sahabat lamanya. Saat itu Dimas dan Dika masih sangat kecil, tidak mengerti apa – apa,

Meskipun Kusuma berada diluar negeri, tapi ia mengutus orang suruhan untuk menyelidiki keluarga di Indonesia, orang itu adalah. Ayah angkat dari Dika. Pak Prama. Orang yang selama ini setia mengabdi pada Pak Kusuma.

Suatu saat, Pria yang dicurigai, datang kerumah dengan membawa seorang anak perempuan yang masih sangat kecil, ia menjadi teman baik Dimas dan Dika yang saat itu berseling 2 tahun dari gadis kecil itu.

“Saya titipkan anak ini dirumah mu, Saya tidak mungkin mengurusnya dirumah, Istri saya pun sibuk bekerja. Harus mengurus putri sulung saya.”

Setelah Bunda Sri menerima kehadiran anak perempuan itu, Pria itu tidak pernah lagi datang ke rumah.

Sampai Suatu hari, Prama sedikit keberatan dengan perintah dari Kusuma.

“Saya tidak mungkin menyelidiki secara terang – terangan.”

Pak Kusuma akhirnya mengerti keadaan Pak Prama, ia memaklumi bahwa tidak mungkin meminta Prama menyelidiki secara lebih lanjut, Hingga Kusuma memutuskan untuk kembali ke Indonesia.

Sehari sebelum Kusuma datang, Anak perempuan itu dibawa pergi oleh Pria yang dicurigai, dengan alasan pergi berlibur.

Pak Kusuma baru sampai dirumah, namun, bukannya membalas Rindu yang terpendam, yang ia lampiaskan adalah kemarahan.

“Saya sudah tau kalo kamu selingkuh dengan orang lain kan!” malam itu menjadi ketegangan yang benar – benar mengubah atmosfer rumah yang tadinya Rindu dengan sosok Ayah yang berada di luar negeri. Menjadi mimpi buruk keluarganya yang sampai saat ini belum terselesaikan.

“Lalu siapa anak perempuan itu? Anak mu dengan dia?!”

“Mas! Aku bisa jelasin semuanya! Aku itu sekeretarisnya Dia! Aku ga mungkin nolak ini semua!”

“Sekretaris?! Tapi kamu menjalin hubungan dengan bos kamu sendiri!”

“Kamu memang perempuan jalang! Jika aku tau kamu akan seperti ini, mana sudi aku membangun keluarga dengan kamu!” Isakan tangis dari istrinya tetap tidak mampu menghentian makian sang suami.

Detik selanjutnya, Bu Sri melempar segalanya, ia memecahkan segala benda yang ada disekelilingnya, seolah barang – barang tak berdosa itu adalah objek yang harus bertanggung jawab atas ini semua.

“Kamu pun hanya bisa bekerja, bekerja, bekerja!, aku lelah! Aku lelah mengurus anak – anak dirumah sampai Bos aku memberi aku kelenggangan untuk mengurus anak!, tapi kamu apa?! Alasan kamu hanya kerja tiap hari, keluar negeri, meeting, tapi kamu tidak pernah memikirkan aku, Dimas, Dika, apa kamu pernah berpikir tentang mereka?!” omelan panjang itu membuat Dimas dan Dika yang masih sangat kecil itu tidak mampu berkutik, mereka hanya bersembunyi dibalik meja, saling menguatkan.

“Apa Bunda dan Ayah lagi belantem?” suara Dimas membuat Dika menganggukan kepalanya, mata mereka berkaca – kaca, tidak sanggup melihat ini semua, sampai Dimas menutup telinganya.

Lihat selengkapnya