Pribadi mu yang begitu menghangatkan hati, membuatku nyaman saat berbagi, padahal kau hanyalah orang yang kutemui tadi pagi.
Temani aku lari untuk hari ini, hanya hari ini saja, agar aku bisa mempersiapkan diri lagi untuk menghadapi takdir semesta yang lain esok hari.
***
Pagi ini menjadi hari yang cerah bagi orang – orang, tapi tidak untuk Aya, ia terbangun dengan pikiran yang sama seperti kemarin malam, ia tidak mampu bercerita pada siapapun, hanya bisa memendam kepahitan masa lalu. Gadis itu masih menyembunyikan dirinya dibalik selimut.
Bahkan untuk bangkit dari tempat tidur pun rasanya sulit, sebenarnya ia tidak ingin tenggelam oleh cerita Bunda Sri semalam, tapi apa daya, tidak ada yang mampu ia lakukan selain menghadapi ini semua, ia masih harus mencari jawabannya sendiri.
Aya masih meringkuk dibalik selimutnya ketika suara pintu yang terbuka terdengar, di ambang pintu sudah berdiri Bu Sarah yang memasuki kamarnya.
“Yaampun anak gadis jam segini belum bangun.” Bu Sarah membuka gorden jendela, membuat cahaya matahari langsung masuk ke kamar Aya.
“Aya! Kamu ga kuliah?” Tanya Bu Sarah setelah mendapati Aya yang masih meringkuk, padahal waktu sudah menunjukkan pukul 8 pagi.
“Aya.” Panggilannya masih tidak direspon, sehingga ia harus membuka selimut itu dan akhirnya mendapati Aya yang masih meringkuk itu. “Ya ampun, ini udah siang Aya, bangun!”
“Aya gak kuliah ah Bu, mau bolos sehari.” Suara Aya yang menggerutu membuat Bu Sarah menghela napas. Bu Sarah memaklumi Aya yang hari ini sedang malas kuliah karena semalam pulang begitu larut.
“Yaudah kamu temenin Kak Nia aja buat control ke rumah sakit ya.” Aya mengernyit mendengar perintah Ibunya, mengingat Kak Nia yang semenjak pulang ke Indonesia sering melakukan control ke rumah sakit.
“Bu, sebenernya Ka Nia sakit apa si? Kok sering control?” tanya Aya penasaran. Bu Sarah menggerakan matanya ke kiri dan ke kanan, tampak sedang mencari jawaban.
“Emmm.”
“Kenapa Bu?” Aya semakin penaran karena lama tidak mendapat jawaban.
“Control kesehatan doang mah wajar kali Ay.” Suara Kak Nia menginterupsi dari ambang pintu yang baru saja masuk ke kamar. Aya mengangguk paham setelah mendengar jawaban Kak Nia.
Nia mendelik pada Bu Sarah sebelum beralih kembali pada Aya. “Kalo kamu sibuk, kamu cukup nganter aja ke rumah sakit, nanti kakak pulang sendiri.”
“Yaudah kalo gitu aku siap – siap dulu ya.” Ujar Aya seraya bangkit dari tempatnya sebelum menghilang dari balik pintu kamarnya.
“Bu, Kena – “
“Ibu Cuma mau Aya nemenin kamu.” Bu Sarah sudah memotong perkataan Nia sebelum ia sempat protes.
“Tapi aku gamau Aya tau penyakit aku.”
“Cepat atau lambat dia pasti akan tau, gak mungkin kan kita terus tutupin ini semua? Lagian Aya udah mulai dewasa, pelan – pelan dia akan tau semuanya.” Nia membuang nafas tidak bisa mengelak dari perkataan Bu Sarah, wanita itu mengusap pelan punggung Nia sebelum akhirnya ia tersenyum miris.
***
“Kamu tunggu disini aja ya.” Titah Nia setelah mereka berdua tiba didepan ruangan dokter.
“Aku gak boleh nemenin ka Nia?”
“Engga, nanti kamu yang disuntik mau?” Aya langsung mengangguk setelah mendengar kata ‘suntik’, lucunya gadis berusia 20an itu masih takut dengan kata suntik, apalagi mendengar kata dokter, sejak dulu dirinya memang benci dengan semacam dokter, obat – obatan bahkan suntikan. Setelah memastikan Aya menurut, Nia pun memasuki ruangan Dokter.
Menit demi menit ia lalui dengan duduk didepan bangku ruang tunggu, ia hanya bisa melihat – lihat sosial media yang ternyata tidak mampu mengusir rasa bosannya, gadis itu pun memutuskan untuk bangkit berniat pergi ke taman rumah sakit mencari udara segar.
Maklum, Aya memang kurang begitu suka bau rumah sakit, apalagi bau antiseptik dimana – mana.
Gadis itu masih berjalan dengan langkah gontai, pikirannya masih berkecamuk tentang cerita masa lalu keluarga Dimas, fokusnya tidak pada raganya saat ini. Tiba – tiba seorang pemuda yang menggunakan hoodie hitam dengan kupluk di kepalanya tidak sengaja membentur tubuhnya.
Aya yang tadinya mengaduh tiba – tiba terbelalak sempurna ketika mendapati ternyata pemuda itu adalah Dika.