Ayah, aku ingin memelukmu, tidak perduli berapa kali aku jatuh, kau ada untuk menopang ku. Ayah, bagiku, kau pahlawan ku, meskipun tidak begitu terlihat, tapi kau punya cara sendiri untuk menyayangi Anak - anakmu.
***
“Nia.” Suara itu sudah menggema sejak kesadarannya kembali. Nia menatap nanar pada sekeliling ruangan yang berwarna putih, Ia mendapati sosok pemuda yang ia kenali disana.
“Dika.” Suara lirih itu terdengar, Pemuda itu masih menggenggam tangan Nia dengan erat, Dika beranjak dari tempatnya, menjulurkan tangannya, mengusap kepala Nia dengan lembut.
“Kamu udah sadar?” Getir dari suaranya terdengar, Dika baru ingin bangkit dari tempatnya saat genggaman tangan Nia mencekalnya.
“Kamu mau kemana?” Tanya Nia dengan suara yang lemah.
“Saya mau panggil keluarga kamu.” Nia semakin menggenggam tangan Dika dengan kuat.
“Jangan tinggalin aku, sebentar aja.” Dika hanya bisa mengamini permintaan Nia, ia kembali duduk, kini tangannya mengusap kepala Nia perlahan.
“Waktu aku udah ga lama lagi, Dika.” Suara Nia semakin lirih, namun masih bisa di dengar oleh Dika.
“Kamu jangan ngomong gitu, kamu kuat, kamu bisa lewatin ini.”
“Jangan tinggalin aku disisa waktu aku ini ya.”
“Sssttt, ga boleh ngomong gitu Nia, saya yakin kamu bisa lewatin ini semua.” Dika masih mencoba meyakinkan Dika.
“Nia..” Suara Bu Sarah terdengar dari ambang pintu, Bu Sarah melihat Nia yang sudah siuman, dengan segera ia menghampirinya.
“Kamu udah bangun sayang.” Ujar Bu Sarah seraya mengusap puncak kepala Nia, Siapapun bisa mendengar getir khawatir dari suara Bu Sarah.
“Bu, Aya gimana? Udah ada kabar?” Pertanyaan Nia membuat Bu Sarah mematung, ia mencoba menatap pada pemuda dihadapannya, lewat tatapan mata, Dika meminta Bu Sarah untuk menceritakan bahwa semuanya baik – baik saja.
“Aya baik – baik aja, dia ada dirumah sekarang.”
“Terus kenapa Aya ga dateng ke sini Bu?” Nia memegang punggung tangan Bu Sarah, tatapannya terlihat begitu memohon padanya.
“Aku harus ketemu Aya bu, waktu aku gak banyak lagi.” Kalimat Nia yang terus berulang seperti itu, menjadi belati tak kasat mata yang menusuk jantung mereka.
“Aku mau minta maaf sama Aya, aku udah bohongi dia selama ini, dia pasti terpukul banget karena tau kenyataannya kalau dia bukan anak Mama, bukan adik aku.”
“Kamu lebih baik istirahat dulu, kamu harus pulih dulu, memangnya kamu pikir Aya bakal baik – baik aja liat kamu kaya gini?” Nia menghela nafas, ia menyetujui kalimat Dika, ada benarnya kata Dika, tidak mungkin Aya baik – baik saja melihat dirinya yang seperti ini.
“Kepala kamu kenapa?” Nia baru menyadari perban yang melilit dikepala Dika.