Terkadang, aku justru lebih mementingkan perasaan ku sendiri, sampai lupa telah mengabaikan perasaan ibu yang pernah berkorban nyawa untuk melahirkan ku hingga merasakan yang namanya hidup didunia.
***
“Duh, bang Dika kemana si? Pagi – pagi udah gak ada dikamarnya, bilangnya mau nurut supaya ga kabur – kaburan lagi. Punya abang kenapa bandel banget sih?” Riska bersungut setelah beberapa kali menelepon Dika yang tidak ada jawaban. Gadis itu sudah berada di dalam mobil, sedang menuju tempat Bu Sri sekarang.
Sejak ia bangun tadi pagi diatas sofa kamar perawatan Dika, ia sudah tidak melihat Dika ada di ranjangnya, ia berusaha mencari keliling rumah sakit, namun tidak menemuinya, ia tidak tau, kalau Dika masih ada dirumah sakit, untuk menunggu Aya dan Nia. Sungguh, abang yang tidak berperasaan pada adik angkatnya, handphone nya sengaja di silent sementara, agar ia tidak mendengar omelan dari adiknya pagi – pagi.
Gadis itu sudah sampai di tempat Bu Sri di rawat, ia mengira bahwa Dika ke sini.
Dengan segera ia memasuki tempat itu, dan melenggang ke kamar Bu Sri, setelah mengetuk pintu tiga kali, tidak ada jawaban dari dalam kamar, ia semakin penasaran, memutuskan untuk membuka pintu secara perlahan. Namun, alih – alih menemukan Dika, ia tidak melihat siapapun ada di kamar Bu Sri, bahkan si pemilik kamar pun tidak ada di kamarnya.
“Lho? Ini gak ada siapa – siapa? Bunda Sri juga gak ada.” Riska mengernyit tidak mengerti, bagaimana bisa pasien yang biasanya ada disini tidak ada di kamarnya.
“Sus, Bunda Sri kenapa gak ada di kamar ya?” tanya Riska pada seorang perawat.
“Ya ampun? Beliau gak ada di kamar?” Suster itu tersentak kaget, padahal sebelumnya Bunda Sri sudah di beri obat penenang. Mengingat bahwa dari semalam Bunda Sri mengamuk dan lepas kendali lagi, bahkan paginya, Bunda Sri masih mengacak – acak kamarnya, membanting semua benda yang ada di kamarnya.
“Ada apa ya sus? Apa tadi pagi ada anaknya yang ke sini?” Tanya Riska penasaran.
“Tadi pagi beliau si lepas kendali gitu mbak, kayak biasanya, kita udah kasih obat penenang padahal. Dari pagi kita udah telepon mas Dika tapi gak ada jawaban, dan gak ada yang masuk ke kamar Beliau juga.” Jawab suster itu dengan nada panik, seraya melangkah ke arah kamar Bunda Sri. Sama halnya dengan Riska barusan, Perawat itu pun mengernyit heran ketika mendapati rungan Bunda Sri yang kosong.
“Ya ampun, beliau kemana ya?” Gumam suster dengan nada panik. Suster itu melenggang masuk ke kamar dan mendapati jendela yang terbuka lebar, “Yaampun, ini jendelanya kebuka, jangan – jangan Bunda Sri Kabur.”
Riska semakin panik mendengar seruan suster barusan, ia melenggang ke arah ranjangnya dan mendapati sehelai kertas yang terlipat diatas meja samping ranjangnya. Dengan cepat ia membaca tulisan diatas kertas itu.
***
Dika harus mengernyit heran ketika ia baru membuka ponselnya, banyak sekali panggilan tidak terjawab dari Riska, dan juga dari tempat Bunda Sri dirawat, yang membuatnya khawatir adalah panggilan dari Rumah Sakit Jiwa, ia khawatir bahwa Bunda Sri kenapa – kenapa. Ia baru ingin memasukan handphonenya ketika getaran panjang dari ponsel menghentikan gerakannya.
“Halo, Bang Dika! Lo Dimana sih?!” Riska berseru panik dari ujung telepon.
“Saya–“
“Bunda Sri, hilang bang!” Seketika Dika mebulatkan matanya ketika mendengar kabar tentang Bunda Sri. Dika sudah mengira bahwa Riska pasti sudah disana, ia berniat menyusulnya.
“Hilang gimana?”
“Bunda Sri gak ada dikamarnya, gue nemuin surat yang isinya–“
“Saya kesana!” Seru Dika sebelum memutus panggilannya, perasaan Dika sudah gelisah tentang bundanya. Ia kemudian memasuki kembali kamar Aya dan beralih pada Dimas yang masih duduk diatas sofa.
“Dimas! Bunda, hilang.” Dimas, Pak Alvian dan juga Aya yang mendengarnya lantas berjengit kaget, karena mereka juga baru tau kalau Dika sudah berdiri diambang pintu.
“Kita harus ke sana.”
“Saya ikut!” suara Pak Alvian membuat mereka sontak menoleh kompak, “Saya juga harus bertemu dengan Sri.”
“Aya, aku pergi dulu.” Dimas mengusap pelan kepala Aya setelah ia menghampirinya.
“Iya, Bunda butuh kamu, waktu aku ketemu Bunda kamu, dia selalu minta maaf sama aku dan juga dia bilang mau minta maaf sama kamu.” Dimas mengangguk paham, ia sudah mengetahui bahwa Aya pernah menemui Bunda Sri, dari cerita Aya tadi pagi.
“Kamu gapapa sendirian?”
“Assalamualaikum, Ayaluv,” Tiba – tiba sapaan riang dari ambang pintu kamarnya memecah perhatian mereka. Saat menoleh, Dimas mengenali seseorang dari mereka, itu adalah Amel. Ia datang bersama Dewi.
“Amel yah?” Aya tersenyum riang sementara Amel menatap heran, ia belum mengetahui kondisi mata Aya.
“Iya, sayang, ini temen – temen kamu.” Dimas yang menjawab.
“Jagain Aya, ya, gue mau pergi dulu.” Dimas menepuk pundak Amel sebelum akhirnya melenggang pergi menyusul Dika dan Pak Alvian, yang kini menyisakan mereka bertiga di kamar.
“Ay, itu tadi Dimas?” Tanya Dewi selepas kepergian Dimas.
“Iya, kenapa?”