Langkah Cinta

YanuarSandieWijaya
Chapter #48

Tanpa Syarat

Aku mencintaimu, karena memang aku cinta. Karena Cinta selalu tumbuh tanpa syarat bukan?

Meskipun aku takut akan kelemahanmu, aku takkan lari, Karena Cintaku Sempurna.

***

Mungkin bahagia belum sepenuhnya dapat ia rasakan.

Satu minggu sudah berlalu, sejak damainya keluarga Dimas, mereka semua kini menjalani kehidupan yang berbeda, Dimas dan Dika jadi sering bersama, Bunda Sri melakukan terapi terbaik untuk memulihkan kondisinya, dan Pak Kusuma selalu menemani Bunda Sri. Tapi mungkin bahagia itu belum lengkap, karena separuh hatinya saat ini sedang terpuruk dan masih dirawat dirumah sakit.

Gadis itu masih dirawat dirumah sakit, karena luka yang ia alami masih belum pulih total. Akhir – akhir ini Aya sering merenung, seperti ada yang ia pikirkan, bahkan sesekali Aya menjawab pertanyaan – pertanyaan Dimas dengan gumaman.

"Aku seneng banget keluarga kamu udah kembali," ucap Aya dengan suara serak. Aya mengembangkan senyum, ketika Dimas menceritakan ketentraman keluarganya, namun senyum itu terasa hambar.

Mendengar nada bicara Dimas yang sekarang saja, sudah membuat Aya begitu bahagia sebenarnya, tapi ada hal lain yang membuatnya tidak sepenuhnya bahagia.

Dimas tersenyum miris, mengingat kondisi mata Aya yang dokter bilang bahwa Aya buta permanen, ia akan bisa melihat lagi hanya dengan cara menemukan pendonor yang bersedia. Dimas merasa bersalah, ia merasakan bahagia, sedangkan kekasihnya masih harus menderita.

Dimas mengusap puncak kepala Aya dengan lembut, "Kamu cepet sembuh ya sayang, nanti kalo kamu udah boleh pulang, aku akan ngajak kamu jalan – jalan ke tempat yang kamu mau."

Raut wajah Aya berubah, mengingat bahwa sekarang kondisinya sudah tidak sempurna, bahkan ia merasa sudah tidak pantas jika masih bersama Dimas.

"Tapi, sekarang aku gak bisa ngeliat, gimana caranya masih bisa sama kamu?" Suaranya terdengar parau. Dimas menghela napas berat. Ia tidak bisa melihat gadisnya terpuruk seperti ini.

"Aku akan jadi mata kamu, aku akan menggiring langkah kamu, aku akan melengkapi kamu." Tukas Dimas meyakinkan.

Gadis itu tiba – tiba terisak, entah kenapa, hari ini ia merasa begitu terpuruk, setelah menyadari bahwa ia benar – benar tidak berguna sekarang. Beberapa hari ini ia berpikir, semakin lama semakin sadar bahwa ia tidak akan bisa bersama Dimas dengan keadaan yang seperti ini.

"Dimas, aku udah denger semuanya, aku akan buta selamanya, aku gak pantes jadi orang yang ada disamping kamu," Ujar Aya ditengah isakannya, Dimas tidak tau, tiba – tiba Aya menjadi seperti ini, padahal biasanya ia akan bergantung padanya. Pemuda itu mendekap Aya, tanpa sempat Aya menyergah, ia sudah mengeratkan pelukannya.

"Kamu kenapa tiba – tiba begini? Aku sayang sama kamu, jangan ngomong kaya gitu yah." Dimas berujar lembut tanpa melepaskan pelukannya, namun Aya mencoba menyanggah.

"Aku juga sayang sama kamu Dimas, maka dari itu, aku mau kamu bisa dapet yang lebih pantes dari aku. Bukan kayak aku yang sekarang gak berguna dan Cuma bisa ngandelin orang – orang sekitar." Dimas menutup mata rapat - rapat, tidak sanggup mendengar luka yang gadisnya suarakan.

"Aku akan jadi orang yang kamu andalkan, izinkan aku jadi orang yang selalu kamu andalkan, tolong jangan bilang kamu gak pantas." Balas Dimas tak kalah lirih. Ia meremas pelan bahu Aya.

"Dimas, kamu gak ngerti, akhir – akhir ini aku berpikir, semakin lama aku semakin gak pantas untuk kamu." Air mata semakin berderai dari pelupuk mata Aya, tanpa Aya ketahui, Dimas pun mati – matian menahan gejolak emosi agar tidak terdengar getir saat ia berbicara, ia harus lebih kuat dibanding Aya saat ini.

"Aku udah bilang, jangan ngomong kamu gak pantas, aku yang akan memantaskan diri untuk jadi orang yang selalu kamu andalkan." Ia hampir tidak bisa menahan suaranya. Mau bagaimana ia menahannya, rasa sesaknya malah semakin kuat.

Aya menundukkan kepalanya, meremas selimut yang ada di genggamannya, ia masih harus berperang dengan batinnya, karena kalimat yang selanjutnya mungkin akan menyakiti mereka berdua. Ia menghela napas sebelum mengeluarkan lontaran selanjutnya.

"Kita udahan aja ya, Dimas." Kata Aya tanpa mendongakkan kepala, ia bahkan menggigit bibir bawahnya sebelum mengucap kalimat barusan.

Kalimat yang sungguh Dimas tidak ingin dengar akhirnya keluar dari mulut Aya, ia merasa saat ini jantungnya benar – benar diremas, mati – matian ia menahan isakannya. Susah payah ia menelan ludah, merasa ada gumpalan pahit yang menyekat tenggorokannya.

"Maksud kamu apa? Padahal kita harusnya hadapi ini sama – sama bukan?" Aya semakin terisak mendengar kalimat Dimas, seperti menjadi penghakiman atas dirinya.

Lihat selengkapnya