Aku, telah menemukan matahari dan cahaya dalam hidup ku. Karenanya, Izinkan aku menyelamatkan keduanya, agar orang - orang bisa merasakan apa yang pernah ku rasakan.
***
Dika menatap tangannya yang sudah memegang gagang pintu kamar Aya, ia menghela napas sebelum membuka pintu. Ia menarik napas, memantapkan hati untuk melankah.
“Siapa?” Tanya Aya yang mendengar suara pintu terbuka.
“Ini Saya..” dari cara bicaranya, Aya mengetahui bahwa orang itu adalah Dika, senyum pun terbentang pada bibirnya.
“Dika, lo kemana aja? Baru dateng jenguk gue?” Dika tersenyum miris mendengar pertanyaan Aya, lalu memilih duduk disamping brangkar ranjang Aya.
“Saya baru sembuh, inget kan, waktu itu saya masih jadi pasien rumah sakit?” Kalimat Dika membuat ingatan Aya berkelana pada beberapa minggu yang lalu, saat terakhir kali mereka pergi ke Ancol.
“Syukur deh kalo lo udah sembuh.” Aya menunjukkan deretan giginya.
Tapi sebentar lagi saya akan pergi.
Senyum masih terbentang dibibir Aya, tapi tidak dengan Dika, ia masih menatap Aya dengan sendu.
“Saya udah dengar kondisi kamu, tapi kabar baiknya, kamu akan segera dapat pendonor ya?.” Bukannya senang, Senyum Aya justru surut setelah mendengar kalimat Dika.
“Tapi gue gak bisa liat Dimas lagi. Gue suruh dia pergi, dan mungkin Dimas gak akan balik lagi ke gue.” Dika menghela nafas, lalu beralih meraih tangan Aya.
“Itu, Aku juga udah tau, “ Dika mengusap punggung tangan Aya. “Dimas itu sayang sama kamu, mau bagaimana pun kamu nyuruh dia pergi, dia pasti akan kembali sama kamu.” Kedua sudut bibir Aya tertarik ke atas setelah mendengar penuturan Dika.
“Dika.” Panggil Aya dengan suara serak.
“Kalo gue udah bisa liat lagi, gue mau liat lo boleh?” Dika bergeming. Permintaan Aya justru menjadi belati tak kasat mata yang menusuk langusng ke jantung Dika. Tanpa sepengetahuan Aya, pemuda itu mengatupkan bibirnya, menutup matanya rapat – rapat, dengan suara parau ia menjawab.
“Boleh.” Sepulas senyum terukir diwajah Aya ketika mendengar jawaban Dika.
“Aya, kamu sehat – sehat ya, setelah bisa liat nanti, bahagia lah sama Dimas, kamu harus percaya, kalau Dimas gak akan ninggalin kamu, dia pasti akan terus ngejaga kamu.”
Dan jangan lupakan saya.
Dika mengulurkan tangannya yang gemetar, ingin rasanya ia menyentuh wajah Aya, namun gerakannya terhenti.
“Lo mau kemana? Kayak lo mau pergi jauh aja.” Dika tidak menjawab.
Ya, saya akan pergi.
Dika beringsut, mengurungkan niatnya. Ia merogoh dalam saku jaketnya.
“Saya taro sesuatu diatas meja kamu, nanti saat kamu udah bisa liat, di buka ya, kejutan buat kamu.” Dika menaruh kotak kado berpita ungu diatas meja.
“Makasih ya.” Senyum tulus terukir dibibirnya.
“Kalau gitu, saya duluan ya, masih ada urusan.” Aya mengangguk mengiyakan.
Dan Selamat tinggal, Cahayaku, jadilah cahaya untuk orang – orang sekitar mu.
***
Baginya, ia tidak akan sanggup untuk mengucapkan selamat tinggal pada Aya dan Nia, setelah selesai dengan urusannya pada Aya, ia beralih ke kamar Nia. Ia hanya mampir sebentar, menaruh kotak kado dan sepucuk surat yang sama seperti kado untuk Aya, sebelum keluar dari ruangan Nia, ia menyempatkan diri untuk mengelus pelan wajah Nia yang masih tidak sadarkan diri itu.
Ia tidak sanggup untuk berbicara dengan Nia, karena baginya pun, itu percuma, Nia tidak akan merespon apa – apa, yang ada nantinya Dika akan merasakan sesak paling mendalam ketika ia berbicara dengan Nia.
Ia teringat ketika pertama kali bertemu dengan Nia, wanita pertama yang membuatnya merasakan kembali perasaan hangat, maka dari itu Dika selalu menganggap Nia sebagai Mataharinya sejak dulu.
Untuk kesekian kalinya, Dika akan meninggalkan mataharinya, sama seperti dulu, dia akan mengulangi kesalahan yang sama, namun kali ini, perginya untuk menyelamatkan mataharinya.