Awal Maret 2015.
Akhirnya Hujan.
Hujan pertama di bulan ini. Aku sudah bosan memandang langit dipeluk awan kelabu pekat dari jendela lantai 6. Duduk di barisan dua dari belakang membuatku kecil hati untuk mencermati dosen yang mengajar matematika teknik. Andai saja dosen seperti Benedict Cumberbatch ketika jadi Alan Turing, dipastikan aku betah. Sayang, dosen di kampus ini kau-tahulah-dosen-yang-di-kehidupan-nyata-bagaimana makanya aku bersembunyi dibelakang.
“Sepertinya hujannya bakalan lama, Dey.”
Aku mengangguk sekilas tanpa menanggapi ucapan makhluk di samping. Sedikit menganggu tatkala aku sedang berpikir ada yang menarik konsentrasiku menjadi bercabang. Mungkin sebagian orang mengira aku sedang melamun. Well, aku tidak melamun. Malah aku benci melamun. Melamun itu adalah kau tidak ada di tempatmu dan membayangkan sesuatu yang tidak pasti. Sedangkan aku masih di tempat dan sedang berpikir sesuatu yang probabilitasnya kadang-kadang besar kadang-kadang tak pasti.
Tapi percuma aku membela diri. Berpikir merupakan bagian dari melamun. Dan dari pikiran yang selalu berjalan, dari tentang ini, atau sekarang bahkan ke masa lalu yang bernama memori. Bukankah berpikir itu tidak pernah berhenti? Ketika seseorang dalam keadaaan yang membuat otak menayangkan memori yang ia ingin hapus. Deja vu. Semacam itu. Kalau aku analisis ada beberapa faktor yaitu waktu, keadaaan, emosional, dan dirinya lah yang terjadi semacam deja vu. Sampai dalam pikiran terisi tebakan untuk sekarang dan nantinya. Sedangkan memikirkan kembali dengan sengaja itu sangat ingin kuhindari.
Cukup sudah. Ini karena aku melihat hujan yang membasahi setiap tempat berpulang yang mereka nantikan. Saatnya fokus ke papan tulis. Mencoba fokus.
“Dey, Dey.”