Pertengahan Juli 2011.
Perbedaan yang sangat jelas terlihat oleh langkah pertamanya ke dalam kelas ketika jam pelajaran pertama akan dimulai sebentar lagi. Mencoba menghindari kerumunan, gadis berkuncir kuda ini terpaksa mencari kursi di tempat duduk bagian belakang. Salahnya ia terlalu serius menggosok rok seragam putihnya sampai lupa rencana datang pagi-pagi untuk mendapatkan kursi bagian depan. Ia tidak menggunakan kacamata untuk memperjelas penglihatannya. Bukan itu alasannya. Hanya ingin lebih tenang dan fokus.
“Eh Dey, september ini ntar kamu ikut lomba kan?” seketika suara perempuan yang sering digunakan untuk membaca protokol upacara bendera setiap hari senin, Dey tahu dia. Semester satu kelas X lalu perempuan berhijab ini dinobatkan menjadi murid ‘terteliti’ saat hari terakhir masa orientasi siswa. Dey agak lupa nama lawan bicaranya.
Sebelum menjawab Dey melirik name tag lawan bicaranya di seragam kanan di bawah logo kelas. “Iya Marisa. Maksudmu olimpiade biologi OSAGI?”
Marisa mengangguk cepat. “Iya. Aku juga ikut yang lomba olimpiade fisika yang tertulis. Kamu yang tertulis juga?”
Dey menimbang jawaban yang akan dijawabnya dengan hati-hati. “Entahlah. Mungkin di bagian cerdas cermatnya.”
Marisa mengangguk lagi lantas duduk di sebelah kursi kayu Dey. Dia sedikit terkejut tiba-tiba Marisa bertingkah friendly. Sebelum Dey menanyakan mengapa Marisa sudah menyengir lebar.
Di dalam kelas tahun ajaran baru XI IPA 2 meja yang terpilih oleh Dey adalah banjar kedua dari pintu, baris ke empat dari depan. Dengan meja berjenis kayu panjang yang muat dua kursi. Pengaturan meja dibagi menjadi empat banjar dan tiap banjar terdiri dari lima meja. Kelas dia termasuk tidak sesak tapi tidak dapat disebut luas. Komplet meja guru yang terletak di ujung depan kiri berseberangan dengan pintu kelas.
Dey suka tempat duduknya. Walaupun jauh dari ekspetasinya tapi duduk di dekat jendela sehingga bisa melihat pemandangan pohon ketapang di kanannya dan lapangan serbaguna yang lapang. Ia suka sekali melihat pohon ketapang ketika bulan September tahun lalu. Warna cokelat mahoni keemasan pada dedaunan yang jatuh menari bersama gravitasi tertangkap menawan. Apalagi angin yang berhembus seperti di pantai terasa menyapu wajah. Samarinda selalu ada hujan dalam kurun waktu tiap satu atau dua minggu. Cuaca saat itu tak menentu tiada mengikuti musiman.
Dey mengedarkan pandangan ke penjuru kelas. Dia melihat-lihat apa ada yang dikenalnya atau wajah baru teman sekelasnya dan segalanya di dalam ruangan ini. Dia memperhatikan ada salah satu orang yang asing di dalam kelas. Walaupun Dey tidak terlalu dekat dengan banyak orang namun masih tetap ingat wajah dan nama sekedarnya. Dia coba mengingat siapa orang asing itu. Cowok asing itu duduk di meja pertama banjar ketiga dengan memutar kursi ke belakang menghadap sambil mengobrol dengan Haris. Sesekali ia tertawa.
Masih tak bisa mengingat siapa orang itu, Dey menyikut pelan lengan kiri Marisa. “Siapa dia?
“Dia?” tanya Marisa berusaha mencari orang yang ditunjuk oleh Dey. “Dia yang mana? Lebih jelas lagi Dey. Mana kutahu yang kamu tunjuk.”