September akhir, 2013.
Di kota yang realistis dan magnetis ini, sebut saja Jakarta, udaranya sangat-sangat segar untuk dihirup setiap waktu. Iya pun. Dengan rakyat yang meraung-raung ke pemerintah yang hingar bingar pusing meladeni dan mencari jawaban. Kota di mana kau tak bisa menemukan kedamaian abadi. Berita baik, Sekarang aku menapaki tanah penuh daya tarik ini untuk sementara waktu.
Aku bersama mereka yang duduk di salah satu meja di kantin lama kampus. Mereka adalah Jeri, Fika, Ghea makan dengan pesanannya masing-masing. Soto ayam, ayam bakar lunak, nasi goreng dan prasmanan versi warung. Meskipun sudah berbeda kelas tapi kalau satu daerah tetap saja berkumpul.
Ghea menyenggol lenganku dengan senyuman jahilnya. “Dey.”
Aku menggumam seperlunya. Fokus ke nasi goreng yang kumakan. Ghea makin menyenggol berulang kali. “Dey, ada kak Ugha di ujung sono.”
Aku berhenti mengunyah. Ugha. Siapa ya? Berusaha mengingat dengan cepat. Ah! Cepat-cepat tutupi mulut Ghea dengan sendok penuh nasi.
Jeri dan Fika tertawa. Fika menepuk bahu Ghea yang jadi korban.
“Dia pergi Dey, ke arah Lab. Yah, sayang dia gak makan disini.” Seringai Jeri.
“Hush! Sudahi pang! Aku mau makan nah. Nasi gorengnya belum habis,” kilahku. Semoga bisa mengecohkan mereka.