Memori 2#
Pertemuan pertama mereka sebagai teman semeja hanya perkenalan nama ala kadarnya. Setelah itu hanya diam dan berkata seperlunya. Sampai ke minggu kedua setiap siswa wajib punya buku pelajaran apapun bisa dengan cara beli buku baru atau minjam ke kakak kelas. Walaupun tak ada hukuman jika tidak membawa, tapi setelah guru menjelaskan sangat diperlukan untuk perbandingan.
Dey melirik meja Ozi hanya ada buku tulis dan pulpen. Dia Inisiatif menggeser buku paket fisika ke tengah-tengah meja kayu yang panjang. Tanpa suara dia kembali fokus ke papan tulis.
Namun buku paket itu digeser dan dikembalikan ke tempat semula oleh sebuah tangan. Dia menoleh ke samping kanan dan cowok disampingnya hanya menyengir.
“Aku nggak terlalu perlu.”
Dey menggeser lagi ke tengah buku paket namun Ozi mengembalikan ke tempat semula lalu terulang lagi seterusnya sampai dia menyingkirkan jemari Dey dari buku itu. “Beneran aku nggak perlu, Dey. Aku bawa kok.”
Dey terdiam.
“Kenapa nggak dibuka?”
“Hehehe. Males, Dey.”
Dey langsung menatap papan tulis tanpa berkata-kata apa lagi sambil bertanya pada dirinya tadi. Tadi kenapa dia?
***
Setelah itu dari pelajaran jam pertama sampai jam ketiga sekarang ini Ozi terlihat terus memainkan pulpennya. Dey fokus ke Pak Moeis yang menulis rumus-rumus di papan tulis tanpa peduli lagi teman semejanya.
“Dey,” katanya hampir bisik sembari pulpen hitamnya mengetuk buku paket Kimia punya Dey.
“Iya?”
“Ayo main Pancasila ada lima dasar lah.”
Dey terkejut. “Hah?”
Ozi membuka buku tulis yang masih mulus dan membuka halaman tengahnya dan menarik satu halaman. Dirobeknya kemudian satu dikasih ke Dey.
“Apa ini?”
“Kertas.”
“Iya ini kertas. Aku tahu, Zi. Tapi buat apa?”
“Buat main Pancasila ada lima dasar.”
“Tapi ini lagi pelajaran, belum istirahat, Zi”
“Beliau masih nulis. Tenang, otak ini harus istirahat. Ada coffee break Di.”
“Di?”
“Iya. Di lebih enak dari pada Dey.” Dia menggaris menjadi lima kolom. “Pancasilanya mau lima dasar atau enam dasar, Di?”