Awal Desember, 2013
Ditiadakannya jam kelas Fisika Mekanika Fluida dan Panas Dosen Pak Ukon 4 SKS, aku menghabiskan waktu di perpustakaan lantai 2. Buku-buku karya Bapak Abdul Kadir kukumpulkan lalu kubuka satu persatu. Sampai mata kuliah tingkat atas kuambil saja. Buka-buka dulu. Baca yang benar-benar nanti saja.
Bersantai di kursi dekat tembok jauh dari meja penjaga perpustakaan. Hanya untuk mengisi daya baterai ponsel. Yang kusuka dari perpus kampus ini selalu ramai. Di dalamnya maupun di koridornya. Mahasiswa-mahasiswi berkumpulan membahas tugas yang muncul terus menerus atau sekedar nongkrong.
“Dey!”
Ghea dan Jeri menyapaku lalu duduk di depanku. Mereka tadi ke sekret PMK membeli pastel di lantai 9. Pastel berisi wortel dan kentang di taruh di plastik gula setengah kilo. Jangan lupa sambal kacang membuat rasa semakin enak.
Mereka pasti menghabiskan di luar sebelum masuk ke sini.
“Dey, aku nanya sesuatu, boleh?” tanya Ghea hati-hati.
“Kenapa dulu memang?” tanyaku balik.
Jeri mengangkat bahu tak ikutan. Ia sudah sibuk meraih salah satu buku Pak Abdul Kadir. Dia mengambil buku berjudul Transmisi Daya Listrik.
“Boleh ya?”
“Iya. Apa?”
“Kamu suka Nata?” tanya Ghea pelan tapi jelas.
Aku menjawab santai. Terlalu santai. “Iya.”
Jeri terbatuk-batuk. Ghea agak gelisah. Dia menggaruk kepalanya yang tertutupi kain jilbab yang dibeli di tanah abang. Seratus ribu dapat lima. Kainnya adem dan tidak nerawang.
“Kamu beneran suka Nata?”
“Iyalah. Kalau benci kan aku gak bisa temanan sama dia. Kenapa memang?”
Jeri dan Ghea saling memandang. Raut muka mereka bingung. Aku melihat mereka mulai paham arti pertanyaan mereka. Suka yang itu ternyata. Hah.
“Aku suka dia sebagai teman. Nggak lebih.”
“Tapi kalian dekat banget. Sampai dia ngantar kamu pulang. Dan, kalian saling kode masing-masing.”
Wow. Orang-orang melihat interaksi antara aku dan Nata ternyata seperti itu. Ini hampir mirip dengan waktu itu. Jujur, Nata dan aku punya selera anime yang sama. Ditambah dia terus bertanya padaku tentang inilah tentang itulah. Kugunakan saja dia untuk mengantar aku pulang ke kosku yang di Jalan Cemara. Tentang kode, Ya Allah, itu kode-kodean bukan sebagai pendukung romantisme. Yang benar itu adalah kode ‘morse’ dari Nata ke… ah, belum saatnya kuklarifikasi yang ini.
Aku mengusap mukaku berkali. Ayo hadapi, Dey.
“Aku dan Nata demi Allah hanya teman. Kenapa kamu tanya itu?”
Aku memandang ekspresi Ghea dan Jeri bersamaan. Mereka terlihat lega. Yang lebih lega adalah Ghea tapi matanya melirik Jeri yang sibuk menonton televisi.
Aku takjub pada diriku yang mengerti arti semua ini. aku menyeringai dan menanyakan pertanyaan balik ke mereka.