Memori 3#
Kursi-kursi yang ditaruh terbalik di atas meja, papan tulis putih yang bersih dari spidol Snowmen, taplak bercorak bunga sepatu menghiasi meja guru terlihat rapi beserta vas bunga mawar palsu, mading yang terisi jadwal piket kebersihan dari senin sampai sabtu, jadwal acara-acara sekolah yang akan datang, serta poster lomba literasi tertempel rapi di dinding belakang kelas.
Jangan lupa jam dinding Saiku yang berdetak lima menit lebih cepat di atas mading kelas. Poster slogan pendidikan dan Tut Wuri Handayani serta foto presiden dan wakil presiden Republik Indonesia.
Yang unik, poster tabel periodik yang bertahun-tahun masih tergantung rapi tak pernah dilepas.
Dey senang melihat kelas ini bersih. Hari ini giliran dia piket alhasil dia datang jam setengah tujuh untuk melihat kelas rapi sebelum ada yang datang. Di kelas ini pembagian waktu untuk bersih-bersih tiap jam pulangan sekolah, tapi Dey suka memeriksa tiap senin pagi untuk mencari sampah kertas yang terlewatkan.
Dia puas telah membuang beberapa gumpalan kertas ke tong sampah, lantas dia menurunkan kursinya dan duduk menunggu yang lain. Jam tujuh kurang lima belas menit Marisa masuk dengan wajah selamat pagi.
“Di, sudah kuduga kamu hari ini datang pagi,” sapa Marisa meletakkan ranselnya di bangkunya.
Hanya setiap hari senin. Hari selanjutnya Dey tiba di sekolah jam 7 lewat 15 menit. Karena senin dia piket dan upacara bendera dimulai jam 7.15 ditambah kadang-kadang harus ke ruang TU untuk mengisi tinta spidol hitam dan biru bersama Fandi.
Lama-lama teman kelasnya berdatangan dan mulai ramai. Ozi adalah orang yang terakhir masuk ke kelas sebelum bel pertama berbunyi.
“Pagi, Di!” sapa Ozi sambil menggoyangkan topinya naik turun sehingga Dey bisa melihat coretan tipp-ex huruf ‘ZJP’ di bawah di bawah pinggir topi itu.
“Pagi.”
“Nggak siap-siap? Sudah bel tuh.”
“Ini mau ambil topinya.” Dey membuka resleting depan di ranselnya tempat dia biasa menyimpan atribut topi dan dasi.
Ia mengambil topinya yang terlipat tapi tidak ada dasi di dalamnya. Dia bingung, seharusnya di sini. Dia mencoba mencari di dalam ranselnya sekali lagi. Ia mengeluarkan kotak pensil dan buku-buku kemudian ditaruh ke meja.
Ozi bertanya, “Nggak bawa?”
“Biasanya aku taruh di sini. Tapi nggak nemu. Di tas juga nggak ada.” Dey memeriksa laci. “Nggak ada juga.”
Dey membayangkan dia dihukum berdiri di tengah lapangan dan dilihat oleh yang lain karena tidak menggunakan dasi berdiri bersama murid-murid yang tidak lengkap dasi, topi, ikat pinggang dan lainnya. Atau jangan-jangan hari ini hanya dia yang tidak lengkap. Memikirkannya saja sudah sangat menakutkan.