BYSTANDER

Ralali Sinaw
Chapter #7

3

Minggu ketiga Desember, 2013

Aku mampir ke Sigma radio untuk melihat daftar nama yang lolos ke seleksi wawancara tahap dua. Setelah mencari dari 12 orang yang lolos yang kudapati nama Ghea dan Jeri ada, aku tidak.

Mereka lolos. Sedangkan aku gagal. Aku merasakan kecewa yang tertutupi kesadaran bahwa sedari awal aku tidak akan lolos. Entahlah, kepercayaan diriku kurang tinggi berbanding sama dengan rasa putus asa.

Seimbang tapi terdengar kasihan. Mungkin itu juga yang membuatku gagal.

Oke, move on. Kuingat kembali ketika paduan suara kampus Gita Pracalita membuka audisi. Ghea mendaftar dan mengajakku. Aku tahu diri bahwa aku bisa bernyanyi tanpa fals tapi kalah di panjang napas. Namun, tidak seburuk saat Mbak Nana bernyanyi peking.

Akhirnya aku tidak jadi mendaftar. UKM yang lain juga aku tidak tertarik karena tugas yang banyak dari dosen ditambah acara ngumpul-ngumpul bareng senior 2011 dan menjadi tim meramaikan event-event ultah himpunan seperti jadi penonton futsal. Yang terakhir membosankan. Melihat orang-orang bermain bola, bukan hobiku.

Aku mengedarkan pandangan sekeliling lobi dalam kampus dan lantai 2. Sepi. Iyalah sepi wong ini hari terakhir kuliah sebelum libur natal dan minggu tenang sebelum UAS. Aku berjalan ke depan pintu lift dengan santai. Bolehlah sekali-kali naik lift daripada naik tangga darurat ke lantai enam. Tidak takut akan ketahuan. Lagipula kakak tingkat sudah banyak yang pulang kampung kemarin.

Aku merapatkan sweater favoritku setelah melihat lift masih di lantai 10 dan memencet tombol panah ke atas dan bersandar di dekatnya. Aku menunduk berusaha menyibukkan diri menghitung tiap detik yang terlewat di jam tangan. Aku tidak telat. Jam tambahan dimulai setengah jam lagi. Aku segera ke lantai enam karena Ghea dan Jeri sudah nongkrong di sana.

Pintu lift terbuka, aku mengikuti masuk ke dalam setelah seseorang masuk. Aku berdiri di dekat sudut dari kiri lift memberikan jarak yang luas.

“Lantai berapa?”

“Enam, terima kasih.”

“Sama-sama.”

Aku mendongak untuk memberikan senyuman tipis.

Ya Allah.

Masyaa Allah.

Aku langsung berdiri tegap dari mode bersandar di dinding lift. Pandanganku lurus ke depan tapi pergerakan mataku dan kedipan masih dalam mode kaku. Wajah ini terpasang poker face.

Aku satu lift dengan Kak Ugha. Berdua.

Lihat selengkapnya