September, 2011
“Fandi! Rambutmu sudah panjang! Jangan lupa hari ini dipotong,” tegur Bu Rum di sela pelajaran.
Fandi menyisir rambut depannya yang lumayan panjang menutupi seluruh daerah dahi ke belakang dengan gesit. “Ibu yang saya hormati, rambut saya belum panjang. Ini masih bisa di sisir ke belakang. Jadi kelihatan pendek, bukan?”
“Potong hari ini, atau mau Bu Asda atau Pak Isan yang motongin rambutmu?” ancam Bu Rum santai.
“Tidak! Tidak Bu! saya akan potong habis pulangan sekolah ini,” jawab Fandi bergidik ngeri membayangkan Pak Isan memotong rambutnya petal alias mencang-mencong. Sudah cukup sekali rambutnya jadi korban Guru Sosiologi itu.
“Rambut Haris, Jordan, Imin, Uwais dan Fery suruh potong Bu! lihat Bu, mereka! Jangan saya terus!”
Yang disebut namanya oleh Fandi langsung memanggilnya kesal. Fandi tidak peduli, menurut Dey, Fandi adalah tipe orang yang ‘mengapa hanya aku yang kena? Kalian ikut jugalah biar rame’.
“Tukang ngadu!” Seru Haris dan Fery tinggi.
Fandi menjulurkan lidah. Bu Rum menggeleng pelan melihat kelakuan mereka. Bu Rum menunjuk simbol kelas di baju putih dada sebelah kanan Fandi yang jahitannya terlepas setengah sehingga menutup huruf ‘XI IPA 2’ di logo biru itu untuk diperbaiki. Syukurnya, name tag Affandi Muhammad masih rapi jahitannya di bawah logo kelas.
“Sudah-sudah. Yang panjang rambutnya bagi siswa laki-laki hari ini harus potong rambut. Besok ada pemeriksaan oleh Pak Isan setiap kelas. Lalu mari kita kembali ke pelajaran. Puisi hari ini yang sudah dikumpul dan Ibu membacanya ternyata,” ucap Bu rum jeda memberikan keheningan yang berhasil sebagian anak-anak ada yang menelan ludah namun ada yang bereaksi biasa saja.
“Ibu menemukan banyak puisi yang sama dan sumbernya sama. Apakah kalian cari di internet dengan kata kunci ‘puisi populer’ atau kalian asal ngetik dapat lalu print? Atau kalian saling kerjasama di tugas mandiri ini?”
Dey dan kawan-kawan diam menyimak keluh kesah Bu Rum terhadap pekerjaan rumah yang mereka kerjakan yaitu mencari puisi dan maknanya. Bu Rum sudah memberikan referensi nama yaitu Chairil Anwar, Sapardi Djoko Damono, dan lainnya. Namun, sepertinya rata-rata sekelas memilih puisi yang sama.
“Puisi Aku oleh Chairil Anwar. Berapa? Tujuh belas orang. Aku Ingin oleh Sapardi Djoko Damono. Uhm, lima belas orang. Sisanya? Ada yang sama tiga orang, empat orang, paling sedikit dua orang. Yang sama kurang dari empat orang Ibu maklumi karena puisi yang dipilih bagus dan maknanya rata-rata diubah dari sumber asli dan ditambahi pendapat pribadi. Hanya satu orang yang memilih puisi Taufik Ismail yang judulnya Karangan Bunga. Kita akan membahas makna dan diksi kata tersebut.”
Dey membelalakkan matanya. Dia yang memilih puisi karangan bunga, karena selalu mengingat puisi itu sejak ujian nasional SMP Bahasa Indonesia di sajak pertama. Soalnya mencari maksud dan tujuan puisi itu. Dey mengingat jelas tiap untaian kata dan langsung bertanya ke Aral siapa penulis puisi itu.
Bu Rum sangat pemilih dalam puisi. Menurutnya puisi sangat indah dan menawan. Ia menghargai setiap puisi yang diketik oleh siswanya dalam PR dan sajak-sajak yang terkenal beliau juga memfavoritkannya. Sayang, beberapa siswa belum mengerti makna dalam di puisi sehingga mereka asal comot dan copy paste supaya tugas cepat selesai.
Dey menulis cuplikan puisi itu yang abadi dalam ingatannya dengan hati-hati.
Tiga anak kecil
Dalam langkah malu-malu
Datang ke salemba
Sore itu.
Ini dari kami bertiga
Pita hitam pada karangan bunga
Sebab kami ikut berduka
Bagi kakak yang ditembak mati
Siang tadi.
Ozi mengetuk buku tulis Dey empat kali dengan pulpen. Dey menoleh dan menaikkan alis kanannya tanda ‘ada apa?’
“Kamu yang milih Karangan Bunga, Di?”
Dey mengangguk sekali. “Iya, kenapa?”
“Keren,” ucap Ozi jujur.
Dey tersenyum. “Kok kamu tahu?”
“Aku ngintip PR-mu tadi, hehe.”
“Lalu kamu milih puisi siapa?”
“Marisa pilih Pak Sapardi yang judulnya Pada Suatu Hari Nanti, si Haris pilih Mata Hitam nya Pak WS Rendra, Fery milih Aku-nya si Binatang – Ah! Maaf, mau nyebut julukan beliau tapi nggak enak didengar. Pak Chairil Anwar.”
“Aku nanya kamu, Zi.”