Maret 2014
Selama masa pendekatan antara Jeri dan Nata dari akhir Januari 2014, Februari yang libur sebulan sehingga mereka berbincang lewat line, Maret masuk perkuliahan semester kedua dimulai sapaan mereka berdua di hari pertama masuk kuliah. Aku yang sedang berdiri di papan tulis menggambar acak pot bunga dengan spidol biru yang tertinggal di kelas membalas sapaan mereka dengan senyum hampir tertawa. Bagaimana tidak, mereka datang berdua dengan membawa aura seperti Rahma dan Fian menguasai kelas. Untung saja hanya ada sedikit orang yang datang itu pun mereka sibuk main game di hape masing-masing. Kalau ramai pasti kelas riuh dengan kata ‘cie’.
“Selamat datang di kelas ini. Selamat menjalani semester dua,” ucapku meletakkan spidol dan menghapus gambar pot bunga.
Jeri dan Nata menyapaku dengan senyum malu-malu. Jeri meletakkan tasnya di kursi depan dengan elegan, berkebalikan dengan Nata. Lelaki itu seperti biasa duduk di kursi belakang namun tidak langsung membuka hape seperti dulu. Dia membuka binder dan tersenyum ke Jeri. Jeri balas tersenyum.
Astaganaga jiwaku bergetar karena keunyuan mereka. Mengapa aku sedikit cringe. Aku perlu Ghea untuk berbagi aura jahilku. Ghea hebat untuk men-cie-in orang.
“Ghea belum datang?” tanya Jeri.
Aku bersandar di papan tulis. “Dia masih di Samarinda. Minggu depan dia sudah di sini.”
“Anak itu memang kesempatan absen. Kalau gak bisa ikut ujian gimana nanti?”
“Masih satu nggak papa. Batasnya tiga maksimal kan, Jer?”
Jeri menghela napas. “Iya sih. Ngomong-ngomong, jakjur baru nih!”
Jeri menunjuk jaket jurusan hitam yang kupakai perdana hari ini. Hari ini angkatan kami sepakat untuk memakai jakjur sebagai dresscode. Jadi, kalau ada seseorang yang memakai jakjur dan serba hitam berjalan di kampus itu adalah kami.
“Masih bau khas kain baru. Padahal sudah kukasih pewangi berkali-kali.”
“Nanti hilang. Walaupun lama katanya, Dey.”
“Kata siapa?”
“Orang? Hehehe.”
Aku berdecak. “Iya-iya. Aku bisa apa sama kamu yang tadi pagi dijemput Nata. Hilang sudah tukang ojekku.”
“Gua bukan tukang ojek lu, Dey!” teriak Nata membela Jeri.
Rupanya begitu. Mereka berdua adalah the next nyamuk. Aku memberikan sanggahan namun mereka saling melindungi. Betapa sedikit menyebalkan.
Tapi sedikit terobati karena aku sedikit bahagia ketika momen mereka datang terlambat di kelas Pak Susilo Matematika Teknik II. Beliau menanyakan pertanyaan ke Jeri dan Nata yang berdiri berdua di depan pintu. “Mengapa kalian berdua telat? Kalian bukan pengantin baru, kan?”
Semua ketawa dan beliau tetap melanjutkan tanpa memedulikan wajah Jeri yang menunduk dan Nata yang menyengir tertawa. “Kalian bukan suami istri dan bukan juga habis hanimun. Mengapa kalian telat?”
Nata menjawab dengan cengiran khasnya. “Bukan, Pak. Kami teman saja.”
“Mbak cuma dibilang teman sama Masnya. Kalau saya jadi Mbaknya saya sedih nggak diakui sama Masnya.”