Oktober 2011.
Salah nulis, batin Dey menatap beberapa huruf yang ditulisnya dengan pensil 2B. dia mengecek kotak pensil kain biru mencari penghapus. Tidak ada. Dia mencoba lagi mencari sampai mengeluarkan barang yang ada di kotak pensil. Tidak ada juga.
Pasti ketinggalan lagi di meja belajarnya. Terpaksa Dey mencoret kata yang salah dengan pensil juga. Dey melirik Ozi yang melihat ke arah mejanya yang berantakan penuh pulpen macam warna, tipp-ex dan penggaris busur, dan gunting kecil hijau.
“Ada penghapus?”
“Bentar kucari dulu,” jawab Ozi meraba mejanya yang hanya ada satu buku tulis dan satu pulpen. Lalu meraba kantong di bajunya dan celananya. Hanya ada karet gelang dan rautan bundar yang ada kaca kecil seharga seribuan.
“Nggak ada ya?”
“Ada bentar. Pinjam pensilmu, Di.”
Dey menunggu apa yang dilakukan oleh teman semejanya. Ozi memegang pensilnya dan karet gelang tadi dilingkarkannya berulang kali di ujung tepi tumpul pensil. Pensil 2B yang ada karet gelang itu dikembalikan ke Dey.
Dey bingung. Ozi membelalak kaget. “Kamu ndak tau kalau karet bisa untuk hapus itu? Coba deh. Ah, kucobain. Mana yang salah. Oh ini.”
Ozi mencoba menghapus. Setelah selesai Dey kecewa melihat hasil kerja Ozi. Lembar kertasnya jadi acak-acakan dan bekas penghapus karet itu melebar kemana-mana.
“Ozi, kok jadi gini?” Tanya Dey menunjuk buku tulisnya.
“Iya kok jadi gagal. Ini rautan untukmu Di.”
“Kok dikasih rautan. Ini gimana jadinya?” Dey masih menunjuk buku tulisnya.
“Sini kukasitau game rautan. Seharusnya ada dua biar bisa kelahi. Satu cukup nda papa deh. Ini kucontohi mainnya gimana.”
Dia mencari bias matahari dari jendela di mejanya. Ia mengarahkan rautan di situ dan menyuruh Dey mendongak.
Di plafon kelas mereka ada cahaya bulat kecil yang bergerak berputar-putar. Itu pantulan cahaya dari rautan. Ozi menggerakannya ke segala arah dari ujung ke ujung. Sampai ke arah plafon yang dibawahnya meja guru.
Dey mengikuti gerakan cahaya bundar itu sampai redup. Ia menoleh ke Ozi dan bertanya, “Terus gimana kertasku, Zi?”
Ozi menggaruk kepalanya. Ia menepuk bahu Haris di depan untuk meminjam penghapus. Haris memberikan penghapusnya ke Ozi. Kemudian ia memberikan itu ke Dey.
“Ini penghapusnya.”
Dey cemberut saat menerimanya penghapus milik Haris.
***
Sholat Jumat di mushola Al-Mukarromah selalu penuh oleh siswa laki-laki tapi ada beberapa yang keluar ke masjid di dekat sekitar seperti di Jalan Suryanata. Pak Zainuddin selaku satpam membiarkan gerbang terbuka selama waktu Jum’atan. Untuk siswi ada sesi mentoring oleh mentor kakak-kakak dari Unmul. Dey mengikuti itu sekelompok dengan Marisa dan siswi dari kelas lain yang Dey belum terlalu akrab. Selesai sholat Jumat bersamaan dengan mentoring. Dey duduk di tepi teras perpustakaan depan pohon ketapang menunggu siswa cowok turunan dari mushola.
“Ganteng-ganteng air wudhu habis Jumatan jadi bercahaya. Adem lihatnya,” ucap Yana salah satu teman mentoringnya dari kelas XI IPA 4.
Erma menutup mulutnya. “Omo! Aigoo! Itu Kak Idham keluar dari pintu ganteng banget!”
“Kak Ageng! Ya Allah, kayak Lee Dong-Wook oppa banget sih!”
“Kak Bagas si Gong Ji-Cheol oppa lagi lepas kacamata! Neomu deg-deg!”
Dey mendengar percakapan mereka tak tahu menahu apa yang dibicarakan. Tapi dia salut sama mereka yang melihat jelas dan detail dari jarak yang jauh. Dia ikut melihat siapa yang dibicarakan oleh Yana dan Erma di teras samping mushola dan kenyataannya memang kakak-kakak yang diomongkan menyenangkan dipandang mata. Tapi tidak tahu nama-nama asing yang disebutkan tadi.
Ozi terlihat keluar dari teras dan mengobrol dengan Idham dan Ageng. Dey memerhatikan Ozi yang sedang melipat sarung khas Samarinda dan melepas kopiah putih garis abu-abu kemudian dimasukkannya ke kantong di baju batiknya. Dey ternyata bisa melihat jelas walaupun dari jauh.
“Di, ayo sholat dzhuhur. Sudah turunan cowoknya.”
Dey mengikuti langkah kaki Marisa yang mengajaknya ke mushola sekolah mereka.
Menjelang sholat Ashar di mana mushola tidak terlalu penuh oleh pelajar. Jam belajar telah selesai sejam lalu menyisakan para siswa klub olimpiade dan sebagian ekstrakurikuler lain. Dey yang sedari tadi di perpus belajar Biologi bertemu Marisa di tangga naik ke lantai dua mushola tempat perempuan sedang melepas sepatu.
“Kamu bawa sandal ya.”
Marisa memakai sandal jepit swallow kuning. “Punya kakak kelas tapi dia lagi halangan. Jadi kupinjam dulu. Mau gantian?”
“Nggak usah. Aku pake sepatu aja.”
“Ayok ke tempat wudhu, Di.”
“Umm.”
Mereka berjalan melewati teras yang masuk ke ruangan Tata Usaha lalu berjalan di samping mushola menuju tempat wudhu wanita. Tempat wudhu wanita dan pria dipisahkan oleh tembok di tengahnya. Bedanya, kalau pria terbuka sedangkan wanita sekeliling dipasang dinding dan pintu masuknya dipasang kain biru sebagai penutup.
Karena dinding di tengah tidak terlalu tinggi kadang ada yang iseng melempar cipratan air menganggu siswi yang sedang mengambil air wudhu. Tentu saja siswi membalas balik ditambah teriakan. Tenang saja, kejadian ini terjadi ketika tidak ada guru yang berada disitu.
Dey kena imbas. Begitu pula Marisa. Marisa berteriak dan membalas balik. Terdengar suara tawa cowok di tempat wudhu pria. “Woi! Siapa yang nyiprat air ke aku?!”
Dijawab butiran air yang berhasil mengenai baju Dey dan Marisa. Dey baru saja selesai membersihkan telapak kaki kirinya diam di tempat. Kali ini serangan air lebih banyak. Marisa yang sudah selesai wudhu menyibak tirai berjalan menuju tempat wudhu pria.
Ozi sibuk menadahkan telapak tangannya menampung air dipelototi oleh Marisa. “Bukan aku! Fandi yang tadi!”
“Bohong! Kamu kan!”
“Aku bahkan baru ngumpulin air, Mar. Kamu ndak lihat Fandi mengejekmu sekarang?”
Marisa menemukan Fandi yang tertawa di belakangnya. Dengan teriakan khas Marisa tak membuat Fandi takut. Malah Fandi menyentuh lengan Marisa.
“Batal! Wudhu lagi sana, Mar,” kikik Fandi lari masuk ke dalam mushola mencari tempat perlindungan.