November 2014.
Aku memandang langit gelap malam ini. Kalau siang hari aku lebih menyukai bintang yang bernama matahari. Karena itu adalah bintang yang paling dekat jaraknya dari bumi. Ketika malam aku bisa melihat bintang lebih banyak. Kadang jika langit cerah tak berawan aku bisa melihat beberapa bintang. Namun, tidak sebanyak ketika aku di Samarinda. Di Jakarta ini bintang kalah dengan asap-asap dan cahaya dari lampu pesawat yang melintasi langit Cengkareng.
Matahari terlihat dekat, padahal jauh beratus juta kilometer dari bumi. Jika menggunakan satuan cahaya menjadi delapan menit cahaya saja. Nyatanya satu detik cahaya setara 300.000 kilometer. Tiga ratus ribu kilometer per detik. Per detik. Itu saja matahari terlihat dekat dan terang. Bintang yang terkenal.
Kalau malam, beberapa bintang menghiasi langit. Yang kukenal nama Sirius. Bukan si ayah baptis Harry Potter tapi nama bintang terlihat terang dan berkelip akibat efek atmosfer bumi. Itu pun termasuk salah satu bintang yang terdekat dari bumi. Walaupun lebih dekat Proxima Cetauri yang berjarak kurang lebih 4,2 tahun cahaya tetap saja satuan cahaya jaraknya jauh sekali. Aku menyentuh langit dan seakan mengambil bintang yang bersinar terang itu.
Aku mengingat galaksi bima sakti atau milky way yang di pertunjukkan planetarium. Betapa bumi yang kutinggali ini terlihat kecil dan rapuh. Betapa menakutkan dan mencengangkan ada hal-hal yang diluar pengetahuan yang belum ditemukan jawabannya.
Dulu aku pernah membaca sebuah cerita. Ada kisah seorang putri yang memilih menjawab lebih banyak ikan daripada bintang bersinar di langit. Katanya, bintang di langit terlihat banyak dan cantik tapi ikan di lautan luas terus ditangkap tapi tak pernah habis. Yang bertanya puas atas jawaban sang putri. Aku berusaha mengingat judul dongeng itu. Aku lupa.
Kepastian jumlah tidak ada yang tahu. Hanya prediksi.
Begitu pula besok paginya hari wisuda angkatan 2010. Aku sudah mempersiapkan baju batik dan hape yang di charge penuh. Menjadi perwakilan souvenir dari himpunan kami menyambut senyum kakak tingkat yang bergelar sarjana teknik dengan senyuman gemilang.
Aku dan Ghea menunggu di stan himpunan beserta kardus-kardus isi souvenir yang jumlahnya pas. Tahun ini souvenirnya adalah jam dinding dengan logo HME dan kampus. Jeri dan Fika berkeliling sekitar parkiran tempat wisuda ini. Nata dan temannya entah kemana. Untung saja tadi hanya aku yang satu mobil dengan Nata. Kalau Jeri yang nebeng entah krik krik di selama perjalanan itu.
“Jam berapa, Ghea?” tanyaku bosan.
“Jam dua belas. Bentar lagi Dey mereka keluar.”
“Lama betul.”
“Sabar, Dey. Bentar lagi kakak-MU itu datang.”
Mukaku kupasang datar ketika Ghea mengatakan kalimat itu. Terkandung cie-an terselubung.
“Nah, pada keluaran mereka,” ucap Ghea berdiri bersiap menyambut wisudawan wisudawati berjubah hitam dan toga kebanggaannya.
Aku melihat kerumunan di lantai satu ini yang makin penuh. Beberapa orang saling memberikan selamat, berjabat tangan, berpelukan dan berfoto bersama. Beberapa angkatan 2010 yang aku tahu yaitu presma, abang-abang yang nongkrong di lantai 6 yang pernah kuminta tanda tangannya di list buku pengenalan jurusan. Memenuhi titah tugas mencari nama dan nim senior. Sayang, aku tidak pernah mendapatkan tanda tangan kak Ugha karena setiap ketemu bukuku pasti ketinggalan. Maka dari itu aku tidak tahu nomor induk mahasiswanya berapa.
Studio foto yang dari kampus dan klub fotografi penuh dengan antrean. Kakak-kakak bersama orang yang disayanginya. Raut muka bahagia terpancar tulus dari orang tua yang berdiri di samping anak-anak mereka. Setangkai bunga mawar merah dibungkus plastik bening dan diikat pita pink di tangan orang yang ingin memberikan kepada orang yang ditunggunya. Ada setangkai bunga mawar putih, ada pula buket bunga kecil, karangan bunga besar di depan pintu masuk, ada bunga dari kain perca dibikin cantik dan menggemaskan. warana hari ini adalah merah dan hitam. Tatapan beberapa orang yang membawa keirian mencoba toga dan bertanya-tanya apakah dia juga akan menghadapi peristiwa yang bernama wisuda. Termasuk aku.
Aku sibuk memberikan souvenir dan Ghea mempersilakan mereka menyebut nama atau nim dan menulisnya pada lembar kertas. Kakak-kakak yang datang ke stand kami kebanyakan ditarik oleh teman-teman mereka. Yang inisiatif datang ada bahkan sempat kami berselfie ria. Dari yang pertama kali bertemu tapi terasa sudah akrab. Itulah kekuatan wisuda dan tali sejurusan.
Setelah Fika dan Jeri datang, aku mencari kak Ugha bersama Ghea. Sebenarnya, Ghea yang heboh agar aku bertemu kak Ugha dan mengajaknya foto. Jam dinding di pelukanku dibungkus kotak hitam tertulis kata selamat mengikuti Ghea berjalan yang lebih tergesa daripada diriku.
Penuh sekali. Bagaimana aku bisa menerobos keramaian ini dan menemukan dia yang kami cari? Kami sempat berteriak mengucapkan selamat ke salah satu kakak yang dari Pontianak tapi ada abang yang bilang terima kasih dan kami melewatinya begitu saja. Aku dan Ghea saling menatap kaget dan tertawa karena kesalahan kami. Begitu banyak kata selamat sebelum berjuang lagi.
Aku melihat siluet kak Ugha diantara kepala-kepala yang berjalan menghalangi pandanganku. Melihat dia sebagai wisudawan hari ini dan kerah jasnya mencuat diantara jubah hitam membuat aku menggagumi pesonanya yang maskulin. Pertama kali melihat dia setelah berbulan-bulan tidak terlihat karena dia fokus magang dan skripsinya. Terakhir bertemu di lift itu dan lantai 6 tercinta.
“Itu kak Ugha. Ayok Dey!” kata Ghea menarik lengan kiriku.
Kami melawan bahu-bahu berjalan meliuk sana-sini mendekati kak Ugha yang sibuk bercakap dengan para asisten lab fisika. Ketika kami datang, mereka sudah selesai bercakap.