Akhir Februari 2015.
Haris Rahmawan. Lelaki berkulit kuning langsat dengan tinggi menjulang diatas rata-rata pria indonesia datang menghampiriku secara tiba-tiba dengan cengiran khasnya.
Di salah satu tepi sepanjang jalan Banggeris saat pasar malam. Depan gerobak penjual nasi jagung dia menyapa. "Dey Raiskandar?"
Aku pura-pura mencoba mengingat-ingat di depannya. Dia seolah mengerti raut wajahku langsung menarik kaus lengan kirinya hingga ke siku menampakkan di ujung dekat telapak bercak hitam besar selebar logo SMA. Bercak hitam itu adalah tanda lahir.
Juga karena itu dia dipanggil Haris cap pemimpin. Agak dipaksa memang sebutannya.
"Haris?"
"Sampai segitunya kamu lupa aku. Iya, Aku Haris. Kamu kuliah sekarang dimana Dey?"
Aku menyebutkan kampus di daerah Jakarta Barat. Ternyata Haris juga berkuliah di Jakarta Barat. Dia sempat heran juga aku yang notabene menyukai Biologi masuk jurusan yang banyak Fisika dan Matematika di mana dulu aku lemah sekali.
"Sudah dua tahun kita gak ketemu. Masih punya hape kan?"
"Iya."
"Kamu susah dihubungi Dey. Kucari-cari susah. Sini pang hapemu. Kutulis nomorku."
Sedikit terpaksa aku menyerahkan hape hadiah hasil dari kerja kerasku setelah mendapatkan beasiswa ke salah satu perguruan tinggi yang sedang kutempuh saat ini. Pasrah saja ketika dia menelpon nomornya dari hapeku.
“Ini nih. Oh iya. Rencananya ini setiap tahun kelas kita bakal ngadain bukber bareng. Tahun kemarin kamu ga ikut sih. Gak ada yang bisa hubungin kamu. Juli nanti harus datang ya?”
Aku mengangguk saja.
“Ris, aku kesana duluan ya.”
Haris, lelaki yang mungkin gak paham dengan pernyataan ku yang ingin sendiri berkata, “Oh iya, aku juga mau kesana eh. Kamu mau juga beli kentang perosotan?”
Aku berusaha menerjemahkan maksud kentang perosotan.
“Kentang Goreng Spiral?”
“Bener! Mirip perosotan kan, Di?”
Aku terdiam. Sudah lama aku tak mendengar panggilan itu.
“Nggak. Mirip tornado.”
“Kamu mau?”
“Nggak. Aku mau beli pentol ngebor.”
“Aku tahu yang paling enak. Ikuti aku.”
Aku mengikuti dia ke salah satu penjual pentol di sebelah jual tahu dan tempe. Sepasang suami istri yang sibuk melayani pembeli. Aku biasa membeli dua puluh ribu untuk dimakan di rumah bareng-bareng. Haris yang pergi memesan duluan kentang goreng spiral kembali lagi berdiri di samping kiriku. Ia tersenyum kepadaku. Sama seperti dahulu.
“Bagaimana kabarmu, Di?”
“Alhamdulillah baik. Kamu, Ris?”
“Alhamdulillah baik juga. Mari kita hentikan basa-basinya.”
“Oke.”
“Besok jalan yuk!”
“Ha?”
“Kita ketemuan bareng yang lainnya. Mereka pasti senang aku menemukanmu.”
“Besok aku ke Jakarta.”
Haris tak percaya ucapanku. Aku sibuk mengambil pentol ngebor terbungkus kresek putih dari ibu penjual. Uang pas kuberi ke ibu itu sambil mengucapkan terima kasih.
Mataku kembali menatap Haris yang masih menatapku. “Udah masuk kuliah?”
“Belum tapi ini sudah akhir Februari. Aku ada kegiatan dulu di kampus jadi balik duluan.”
“Oke. Insyaa Allah, nanti kita ketemu di Jakarta. Harus, Di.”
Pasar malam ini lumayan penuh orang. Kami melewati bangunan yang sekarang menjadi tempat futsal. Kami berhenti di salah satu stan di depannya. Haris yang sibuk makan kentangnya dari ujung bertanya padaku yang menikmati kumpulan plastik ikan cupang lima ribuan.
“Kamu sendiri ke sini?”