Pertengahan Januari, 2012.
Ada kehebohan di mading sekolah. Selembar kertas terpajang. Isinya hanya untaian kata tapi mengundang kagum dan jepretan kamera. Dey melihatnya saat ke ruang guru karena mading itu pas di samping ruang guru. Ia memperhatikan rinci apa yang tertulis di kertas itu sampai semua rata-rata membicarakannya.
Katamu, langit tak berbicara
Merintih dalam sepi
Katamu, mimpi melayang
Tak tega dipeluk kenyataan
Kita di sini, tapi tak di sini
Kutanya padamu
Jawabmu di situ
Mengambang hilang
Semua heran mengapa bisa
Kutanya padamu
Jawabmu palsu
Kita saling meronta
Tak usah kau pedulikan kesakitan
Hingar bingar
Kutanya padamu
Jawabmu rindu
Dey mencari siapa yang membuat puisi itu. Tidak ada nama pengirimnya. Hanya untaian puisi saja. Dia membaca puisi itu sekali lagi. Menerka siapa yang kira-kira yang membuatnya. Yang pasti orang di sekolahan. Kalau kutipan atau puisi dari orang lain pasti anggota mading menyertakan sumber dan nama penulisnya.
Tak ambil pusing, dia kembali pada lomba-lomba yang diadakan di sekolah. Lomba untuk merayakan ulang tahun berdirinya sekolah. Sangat banyak. Untuk hari pertama senin lalu lomba seperti balap karung, futsal, tarik tambang dan voli diadakan babak penyisihan. Hari kedua adalah semifinal dari lomba-lomba tersebut. Yang ditunggu adalah hari kamis hari bazar. Hari bazar adalah puncaknya. Sekarang hari rabu adalah hari final semua lomba. Sekarang ini Dey berdiri di balik kaca jendela perpustakaan untuk menyaksikan hal-hal yang seru dari sini.
Aral menyuruhnya menunggu disini. Jujur Dey masih belum terbiasa memanggilnya bapak. Mungkin sudah terlalu lama mengenal dia jadi rasanya aneh. Banyak orang menanyakan tentang ada apa dia dengan Aral. Sedangkan dia sudah berjanji ke Aral untuk tidak bercerita sejujurnya. Alasan adik ipar sepupu lebih aman daripada hanya tetanggaan.
Ada buku warna merah tua terselip diantara tumpukan buku Aral. Dey terusik untuk mengambilnya.
Penasaran sampai dia tidak boleh melihat buku itu dari dulu. Dia membuka selembar dan lembar lainnya mendapati puisi yang ditulis tangan. Tulisannya sangat menawan dan rapi. Siapa yang punya ini. Dey terkejut. Puisi di buku ini sama dengan puisi yang ditempel di mading yang heboh karena keren sekali puisinya.
Braak!
Buku di tangan Dey dirampas oleh Aral.
Dey sedikit terkejut mendapati Aral menahan amarah dan seakan menyembunyikan sesuatu.
“Hah... Sudah kubilang jangan menyentuh buku ini, kan Dey? Jangan.”
“Iya Pak.” Jawab Dey patuh.
Aral memasukkan buku ke tasnya. Dia menutupnya dengan cepat. Dey memberanikan diri untuk bertanya, “itu bukan punya Mbak Nana dan Kak Ulum kan? Itu punya siapa? Temen Kakak yang nggak ada kabar itu?”