Maret 2015.
Ahmad pernah bilang padaku kalau laki-laki jatuh cinta di detik pertama dan setelah detik ketiga dapat menentukan apakah ia memutuskan iya atau tidak. Sedangkan perempuan harus dengan keterbiasaan baru bisa jatuh cinta atau tidak. Kasarnya, laki-laki pertama kali melihat penampilan dari perempuan, sedangkan perempuan melihat laki-laki dari hati.
Lalu ada seseorang menggunakan cara melihat jatuh cinta pertama kali dari wajah yang asing, bukan keterbiasaan. Kemudian menjalani perasaan dengan rahasia. Seperti salju yang jatuh perlahan dan debu yang basah akibat air hujan.
Ketika aku ke suatu mall di Kemakmuran, aku duduk menunggu Ghea di foodcourt. Kulihat beberapa pot rumput hijau di samping dengan perasaan takjub karena baru kutemukan di foodcourt ada tanaman hijaunya. Ternyata saat kusentuh daun hijau itu bukan daun asli. Tanaman hiasan saja.
Mungkin analoginya itu untuk pernyataan ini : saat kau mulai menyukai seseorang pertama kali, perasaan takjub dan indah mendukungmu. Tapi saat kau tahu benar dia seperti apa, kau sadar perasaan yang kau miliki itu palsu.
Sudah beberapa kali aku mengalami itu. Kita seringkali terpesona dengan seseorang bahkan bilang menyukainya. Tapi aku selalu berpikir semua itu akan hilang seiring waktu dan kenyataan yang menghampiri sehingga hanya tersisa tanpa rasa. Aku yakin dengan hal itu. Namun ada yang bertahan walaupun sudah tahu siapa sebenarnya.
Mungkin seseorang hanya kecewa karena orang yang disukainya telah menyakiti hati dan dengan gampangnya mencari lain. Mudah sekali mendapatkan perempuan yang dia inginkan. Seseorang mencoba membencinya dengan alasan yag dibuat-buat itu. Tapi tetap saja, hanya rasa kecewa yang dirasa. Seperti menonton ending sebuah drama yang tidak diharapkan.
Pikiranku kemana-mana saat berdiri menunggu Haris datang di halte Monas. Aku menunggu tak sendiri. Ada sepasang suami istri berlindung di bawah payung aqua blue menertawakan rapinya ibukota dengan desa mereka. Aku tahu logat mereka dari ucapan mereka, Riau. Lalu rombongan anak SMP yang masih berseragam menggosipkan apapun yang silih berganti, lalu ibu yang sabar menjaga tiga anak kecilnya yang hiperaktif.
Aku dan kesendirianku di tengah keramaian.
Haris tampak berlari menuju hadapanku dengan kemeja abu gelap kesukaannya. Padahal kalau kulihat Haris adalah lelaki yang paling tampan di kelasku, setelah Jordan dan Muhaimin. Tapi bosan ya sering lihat yang tampan-tampan melulu. Apalagi orang yang sudah menyengir tak bersalah di depanku.
“Maaf aku telat nah. Gara-gara busway penuh melulu ke Harmoni.”