BYSTANDER

Ralali Sinaw
Chapter #23

10

April 2015.

 

Aku memandang hujan yang turun deras di lobi kiri kampus. Duduk di tempat duduk khusus samping taman mini berhadapan dengan trafo dan kincir angin. Taman mini ini ada beberapa biji bekas puntung rokok. Padahal ada tong sampah di sampingnya. Suka heran akutu.

“Lu suka hujan, Dey?”

Ternyata Nata. Dia duduk di samping kiriku lantas mengeluarkan bungkus rokok dan pemantik api berwarna hitam yang selalu ia bawa.

“Kenapa?” tanyanya ketika ia menyadari aku terus melihatnya.

“Gue ingin menikmati aroma hujan.”

“Ah! Sorry. Kebiasaan gue kira lu biasa aja saat gue sebat.”

Nata memasukkan itu kembali ke saku jeansnya. Aku tersenyum kecut. “Lu pasti kira gue cowok atau gue suka asap rokok.”

“Sorry, Sorry. Gue bilang sorry. Lebih ke cowok sih. Lu gak panjangin rambut?”

Aku menyentuh rambutku yang pas di bawah daun telinga. “Ini aja sudah panjang. Masa lu kira cowok. Setdah, Ta.”

Nata tertawa. Tawanya ala-ala tawa cowok. Hahaha bentar dengan nada berat. Sampai kudengar nadanya re re re. bukan do re mi.

“Nih flashdisk. Episode-episode Shinpachi Zura lu.”

“Thanks. Gue minjem dulu.”

“Apa yang bisa dinikmati dari aroma hujan sih, Dey?”

“Menurut lu?”

“Gak ada spesial. Hanya angin, percikan air, dan dingin.”

“Iya gak ada yang spesial.”

“Lu lagi mengingat kenangan? Biasanya hujan identik dengan kenangan.”

“Kenangan apa yang bisa gue ingat? Gak ada mah gue. Gue suka aroma hujan aja.”

Nata mengangkat alis sebelah kanan. “Masa sih?”

Aku mengangguk seadanya. Benar, kenangan yang coba kuingat tentang hujan dan dia, aku tidak berhasil menemukannya satu pun. Entah kenapa.

+++

Bulan ini adalah bulan pura-pura semuanya baik-baik saja. Pura-pura menjadi seperti yang dulu khususnya setiap Nata dan Jeri bertemu di satu lingkup seperti sekelas, kala sepraktikum, berpapasan di lorong lantai 6, keluar kantin lama, di kopma, di jalan samping bengkel sipil, jalan pintu belakang kampus, di jalan lobi kiri kampus dekat replika Gardu Induk, di lobi dalam kampus dekat miniatur PLTA, di perpustakaan. Semua tempat. terlebih lagi kalau ada kegiatan.

Kegiatan itu adalah dies natalis kampus. Yang lebih spektakuler adalah aku selalu menemukan mereka berpura-pura kembali ke awal. Awal di sini adalah orang asing yang saling menyapa sopan. Mereka saling menghindar dengan caranya masing-masing.

Yang melihatnya akan geregetan. Termasuk aku.

Kata Ghea masalah mereka sudah diselesaikan baik-baik. Baik-baik bagaiamana? Aku lihat saja mereka masih seperti itu. Orang-orang lihat Nata sudah biasa, begitupula dengan Jeri. yang terlihat bukan sebenarnya. Ah, biarkan mereka seperti itu. Siapa tahu betul-betul jadi biasa saja.

Hari ini adalah pertunjukkan dari berbagai himpunan. Perwakilan dari himpunan anak Kalimantan mempersembahkan tarian Burung Enggang. Penarinya Ghea, Jeri, Fika, dan tiga cewek lagi. Bonus tiga cowok.

Aku melihat mereka menampilkan tari Dayak itu dari dinding kaca samping pintu masuk ke lobi dalam. Punggung menyender seiring lagu diputar. Mereka mulai menari mengayunkan tangan seperti burung yang mencoba terbang ke langit.

“Dey. Ini minuman lu.”

“Tengs. Tapi ini?” Tanyaku memegang botol susu rasa bewarna hijau.

Lihat selengkapnya