12
“Aku ndak mau datang.”
Jawabanku membuatnya menggerutu. Aku tak bisa mendengar jelas gerutuannya karena dia membelakangiku. Menuju terminal busway Kota Tua ini kami berjalan di terowongan penyeberangan pejalan kaki dengan santai. Ditambah kolam air mancur dan tanaman menghiasi cantik disusul deretan payung yang digantung di tengah taman. Memanjakan mata.
Namun, Haris tiba-tiba berhenti. Dia menepi ke pagar pembatas dan menyandarkan punggungnya. Matanya masih menatapku.
“Kenapa ndak mau datang?”
“Sholatnya gimana?”
“Kita cari tempat makan yang ada musholanya. Atau seberangnya masjid dah.”
“Pasti gak teraweh ntar.”
“Bisa kok. Tinggal pergi aja. Datanglah, Di. Sekelasan makin rame kalau kamu ikut lok.”
Aku mencari-cari alasan. “Aku gak pernah pulang malam banget Ris.”
“Tenang, aku yang ngomong ke Ayahmu sama marisa. Dan jam sepuluh sudah nyampe rumah.”
“Kok jam sepuluh?”
“Lah kan mau teraweh jarmu. Dua puluh tiga rakaat ditambah ceramah bentar terus ngobrol bareng yang lain. Jam sepuluh paling cepet dah. Ringkas ini. biasanya aku dan Fandi kalau ngantar yang lainnya tuh bisa sampe jam sebelas.”
“Fandi pasti ngegosip hahaha.”