Terakhir
Remember i was always freezing
And now i’m covered up in snow
Just give me some kind of sign
Is this the right place
Or the right time?
Sekarang ini,
Aku berdiri di bagian dari bandara Soekarno-Hatta terminal 1A yang aku favoritkan, yaitu ruang tunggu. Di mana berbagai macam orang duduk secara random dan melakukan apa yang mereka inginkan. Seperti aku memilih duduk di bangku seberang jauh dari televisi yang berkoar mengabari hal umum. Ransel kubiarkan saja di samping kanan setelah aku mencari earphone.
Lagu pertama, Across The Ocean-nya Azure Ray.
Tidak ada sms dari Haris setelah hari itu selain lusa lalu. Aku sudah di Samarinda. Hanya itu yang tertera di hape. Secara tersirat dia menunggu aku pulang dan mesti datang untuk acara buka bersama. Nada Haris di sms itu pasti marah. Terserah ditambah entahlah. Lama juga dia bersikap cuek. Biasanya ketika Haris marah dia hanya cuek dan diam sebentar. Tumben sekali.
Ada pesan masuk. Dari Haris.
Pesawatmu hari ini, kan?
Sepertinya marahnya sudah reda. Anak ini sms-nya terkesan dibuat dingin. Aku berdecak geli karena tingkah laku Haris yang mirip cuaca ekstrem. Berubah-ubah seiring waktu. Balas ah dengan kadar kesingkatan sesingkat-singkatnya.
Y.
Sambil menunggu pesan dari Haris aku mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan. Menjadi “bystander” adalah kegiatan yang akhir-akhir ini kulakukan. Melihat lewat atau terperinci sambil menerka alasan dan apa yang terjadi selanjutnya. Aku tidak bisa seenaknya mengatur seseorang agar tindakan sesuai yang aku harapkan. Etika bystander adalah menikmati tontonan hidup diiringi harapan walau kadang tak sesuai. Apabila kita bisa membujuk dan menasihati dengan segala macam rupa, akhirnya hanya bisa melihat saja.