Setelah beberapa hari tidak ada kepastian dari sekolah dan berita-berita terus muncul di tv maupun dari mulut ke mulut mengenai kasus percetakan soal serta makna terselubung ditambah kosnpirasi di luar sana. Itu semua sesungguhnya tidak pernah terpikirkan oleh para murid kelas dua belas. Yang hanya di benak mereka adalah cepat-cepat mengerjakan lalu liburan.
Ujian nasional tahun ini tidak menyenangkan bagi Dey. Dia telah belajar tekun demi memudahkan mengerjakan soal-soal yang katanya sesuai kisi-kisi namun terhempas mundurnya hari ujian sehingga menambahkan malas dan ‘jalani aja deh’ dipikirannya. Rasa berjuangnya sedikit menipis.
Apalagi sekarang dia menatap soal Biologi di hadapannya dengan tipe soal H. sudah tipe soal tiap orang beda tapi soal hanya diacak dan jawaban diacak. Satu kelas dua puluh orang semuanya beda tipe soal. Parahnya lagi yang digadang-gadang dibuat soal UAN baru tapi ternyata di hadapannya tertulis dengan khidmat di pojok kiri atas sampul soal Biologi ada tulisan ‘ujian susulan’ yang diperuntukkan oleh yang tidak bisa hadir.
Betul juga sih dia termasuk yang tidak hadir saat ujian akhir nasional karena tidak bisa ujian wong soalnya tidak ada. Tapi mau bagaimana lagi, dengan sisa semangat juang dan letihnya memahami dan menghapal jadi dia mengerjakan soal dengan mode serius setengah tapi.
Erma, Fandi dan Haris satu ruangan dengannya. Sedangkan Yana dan Marisa di ruangan sebelah. Erma sibuk merobek kertas buram tanpa coretan menjadi kecil-kecil lalu menuliskan sesuatu di kertasnya kemudian menggulungnya. Kertas gulung itu dikocoknya pelan dengan mengatupkan kedua telapak tangannya hingga ada kertas yang keluar. Sebuah gulungan kertas mendarat mulus di lembar jawaban. Erma membuka kertas itu lalu mengangguk bangga sambil melihat soal. Dengan percaya diri ia melingkari jawaban dengan pensil 2B.
Dey menghargai kerja keras Erma yang berusaha sendiri dengan bergantung kepada celah jemari dan kertas kecil itu.
Ia menoleh ke Fandi yang berada di samping kanannya terpisah dua orang. Fandi sibuk menghitung sesuatu di kertas ujiannya. Raut mukanya serius sekali. Tangan kirinya sampai memijat kepalanya mungkin pusing memilih jawaban. Sebentar. Tangan kirinya memegang hidung. Tangan kanannya di atas soal bergerak-gerak dua dan empat. Matanya melirik serong kiri ke Cakrawala.
Ternyata transaksi menyontek dengan isyarat. Guru pengawas yang duduk sebanjar dengan Fandi pun tak sadar dengan aksi tersebut. Dey mengakui kekuatan FBI ala Fandi.
Pandangannya beralih ke Haris yang anteng mengerjakan soal. Sesekali pensil diayunkannya tapi itu saja. Tidak ada tanda-tanda seperti Erma maupun Fandi. Dey tahu tipe orang seperti Haris mengerjakan soal. Bukan serius dan diam-diam menghanyutkan. Haris adalah tidak memusingkan dan memilih jawaban yang disukainya. Padahal belum tentu benar.
Dey bangga sikap easy going Haris. Level murid tertinggi. Kerjakan lalu jangan pernah diingat lagi.
Ia selesai menginterogasi kelakuan temannya. Waktu sisa dua puluh menit dan sudah banyak yang mengumpulkan lembar jawaban diiringi langkah kaki bebas keluar ruangan dan udara kesenangan terdengar sampai ke telinganya. Dey memeriksa kembali jawaban yang belum dilingkarinya.
Ia stuck di nomor 13. Bingung antara dua pilihan. Ia melihat Erma, Fandi Dan Haris dalam menangani masalah ujian. Dengan pergolakan batin yang minimal, ujung tajam pensil 2B miliknya menunjuk tepat di dua option di nomor 13. Antara a dan e. Dey menarik napas lalu mulai menggerakkan pensilnya berkali-kali antara a dan e sambil menggumam.
Bismillahirrahmanirrahim.
Akhir dari him adalah pilihan A. Dey mengangguk takzim lalu melingkari jawaban A di lembar jawabannya.
***
Lima mata pelajaran berikutnya seperti itu juga. Dengan kekuatan yang didukung oleh rasa bebas yang tinggi mendekati pasrah Dey menamatinya tanpa beban. Sudah dilakukan dan sudah berakhir. Hasilnya? Nanti saja memikirkannya.