Mei, 2013.
“Deyra, besok jam berapa?”
Di daun pintu kamarnya, kakak sulungnya berdiri menyenderkan bahunya. Lalu perlahan masuk dan mengecek isi dalam tas yang telah disiapkan dari siang.
“Jam setengah delapan kapalnya udah jalan. Antar aja jam tujuh.”
“Jam tujuh kurang seperempat saja. Oke deh. Eh, udah bawa tisu kering dan tisu basah?”
Dey menggeleng.
“Bawa juga minyak kayu putih dan minyak tawon. Jaga-jaga saja.”
“Iya, Mbak.”
Dey diam di kursi belajar sementara Eny sibuk mondar-mandir memasukkan barang yang kurang ke tasnya.
“Mbak,” panggil Dey pelan. “Bolehkah aku besok nggak ikut liburan?”
Eny mendongak. Ia memandang adiknya. “Kenapa?”
“Males?”
Dey mendapatkan jitakan di kepalanya disusul suara nyaring.
“Hei! Sudah bayar ya harus datang! Sudahlah tidur cepat sana. Kasian uangnya.”
“Uangnya dikasihani. Kepala adeknya nggak.”
“Hush! Tidur sudah!”
Eny pergi dari kamarnya menyisakan Dey dengan pikiran-pikiran yang datang menumpuk memenuhi hampir berlebihan.
***
Eny mengantarnya dengan motor roda dua biru garis putih berspion bulat ke pelabuhan Sungai Kunjang. Dey datang dengan langkah lambat menuju kapal penumpang kayu yang telah dipesan. Nampak sudah ada keramaian di situ. Pak Aral duduk di kursi plastik dengan kertas absen di papan ljk biru telur asin menyapa Eny dari jauh. Eny membalas dengan lambaian tangan sedangkan Dey turun dari motor lalu menghampirinya.
“Pak!” sapa Dey dengan senyum paginya.
Aral menyapa balik. “Iih. Dey Raiskandar hadir!”
Aral mencentang di kolom kehadiran. Dey mengintip lalu Aral menunjukkannya dengan jelas. “Noh! Tercentang.”
Dey terkekeh.
Hari ini Aral memakai baju kemeja hitam. Celana jeansnya juga berwarna hitam. Sepatunya juga. Serba hitam hari ini.
“Bapak kok serba hitam hari ini? Supaya murid-murid bebas liburan ya? Tak terlihat. Invisible.”
“Man in black. Nggak lah. Kalian harus kujaga bener-bener. Anak orang soalnya.”
“Terus?”
“Si Auliana yang nyuruh. Biar kelihatan wibawa nanti bentak-bentak. Kalian kan lumayan bebal dikasitau kalau sudah waktunya berhenti.”
“Bukannya invisible ya?”
Aral memicing matanya. “Terus, kenapa pakaianmu hari ini?”
“Kenapa memang?”
“Stylish. Perpaduan jeans biru dongker, kaos warna pasir dan sweater garis horizontal biru laut dalam dan biru langit. Nggak ada yang lain apa? Tiga tahun pakai sweater itu mulu.”
Sindiran yang jelas. Dey menaikkan kedua bahunya tidak mau. Jaket sweater berkerah dipadu restleting favoritnya akan ia pakai selalu. Terus Aral menyuruh rambutnya dirapikan karena berantakan.
“Mbak Nana dan Pak Aral nggak lagi musuhan, kan?” tanya Dey sambil berusaha mengikat rambut hitam legam panjang sepinggangnya dengan ikat rambut warna senja.
“Kenapa begitu?”
Dey menggeleng cepat. Perkiraannya salah. Terakhir dia melihat tatapan Auliana di rumah lebih dingin daripada kala hujan di depan perpustakaan itu.
“Nanya aja. Kemarin kan kalian nda kelahi seperti biasa. Jadi kukira bertengkar.”
Aral menggeleng dan mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja. Dey berhasil membuat Aral tidak bertanya lagi. Tapi, Dey tidak tahu kalau Aral mengerti maksud dari tetangganya itu. Ia sadar ada yang salah tapi Auliana tak mau membahasnya. Apakah tentang obat antibiotik kemarin yang ia tidak habiskan sehingga Auliana marah. Auliana tidak pernah bermain-main dengan prosedur pemakaian obat. Di kepala Aral sudah direcoki doktrin Auliana ‘penggunaan obat harus mematuhi anjuran petunjuk pemakaian pada brosur.’ Namun, dianya yang malas meminum obat kalau dirasa sudah sembuh.
Dey pamit menuju kapal yang akan menemani perjalanan mereka.
***
Tim sukses libur ujian berkumpul di lantai bawah kapal. Mereka bersila dan sibuk menghitung-hitung memastikan yang terjadi sesuai rencana. Haris dengan kemeja kaos belang-belang kuning putih sibuk mengabsen yang datang di papan ljknya bersama Aral.
Kapal sudah berlayar selama 30 menit. Perjalanan dipenuhi oleh gelak tawa dan nyanyian di lantai bawah dan atas. Haris, Marisa, Fandi, Yana dan Erma sibuk bermain uno. Dey tidak ikut bermain, dia hanya merapikan kartu-kartu yang dikeluarkan oleh mereka. Karena ketika dia ikut bermain, dia selalu jadi orang terakhir menyisakan kartu terbanyak. Kartu plus tidak pernah didapatnya dan yang lainnya menggunakan kesempatan untuk berkata uno-uno duluan.