Hubungan yang tidak layak untuk dipertahanin, mending diakhiri. Jatuhnya lo sendiri yang akan sakit kalau mati-matian berjuang buat hal yang tak pasti.
~ Ivo, Sang pakar cinta.
***
Cinta hanya mendengkus sebal. Sedari tadi sudah berpuluh-puluh pesan yang ia kirimkan pada Edwin; pacarnya yang berada di Bandung, namun sampai saat ini belum ada balasan sama sekali darinya. Ia melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Sudah pukul empat. Sebentar lagi pekerjaannya selesai. Ia kembali mengambil ponselnya dan mengecek pesan yang ia sudah kirim pada Edwin. Belum terbaca bahkan pesan itu masih terlihat ceklis satu. Kesal, ia membanting ponselnya ke dalam tas miliknya.
Tangannya pun bergerak memegang mouse komputer. Ia menyudahi desainnya. Namun sebelumnya, desain yang masih mentah itu ia kirim ke emailnya biar ia bisa melanjutkannya ketika sudah sampai di kontrakannya. Setelah layar komputer itu menghitam, Cinta segera keluar dari ruangannya sambil menenteng tas yang berbentuk persegi empat itu.
Inilah pekerjaannya sehari-hari. Lulus dari sekolah menengah, bukannya melanjutkan studinya, ia malah memilih bekerja. Sudah dua tahun ia bekerja di perusahaan Multirate Development yang ada di Surabaya sebagai karyawan pada bidang desain interior. Beruntungnya ia lulusan jurusan animasi dan multimedia. Masalah desain sudah ia pelajari sejak SMK bahkan sebelumnya memang Cinta sangat suka menggambar. Baginya, gambar bukan sekadar gambar tapi bagaimana ia menunjukkan idenya tanpa harus berbicara. Dilihat dari awal bergabungnya di perusahaan ini merupakan suatu keberuntungan bagi seorang Cinta. Ia pernah mengikuti lomba desain logo yang pada saat itu diselenggarakan oleh perusahaan ini. Cinta yang sekadar iseng ikut tidak pernah menyangka bahwa desainnya akan terpilih menjadi juara satu. Dari hasil itu, Cinta mendapatkan kesempatan untuk bekerja sama dengan perusahaan MRD.
Pekerjaan Cinta selalu mendapatkan respon yang positif. Tak tanggung-tanggung direktur perusaan sudah pernah menawari Cinta untuk menjadi kepala desain interior tapi Cinta langsung menolak. Alasannya karena perjalannya masih panjang, lagian ia masih sangat muda untuk mendapatkan jabatan sebagus itu.
"Baru mau pulang, Non?" tanya Mang Diman, satpam perusahaan.
"Iya, nih, Mang. "
"Ya, sudah. Hati-hati, Non." Cinta hanya membunyikan klakson motornya sebagai respon. Gaji Cinta memang bisa ia gunakan untuk membeli mobil dengan beberapa bulan gajian tapi ia lebih suka mengendarai motor. Lagipula, keluarga baginya adalah nomor satu. Masih banyak impian yang belum sukses terealisasi. Termasuk rumah orang tuanya yang sementara di bangun di Depok.
Di pertigaan jalan pertama, Cinta menghentikan motornya di depan penjualan bahan masakan. Ia membeli sayuran, tahu dan tempe,ayam instan, dan juga lombok. Cinta memang akan lebih memilih memasak di rumah selagi ada kesempatan ketimbang harus jajan makanan di luar. Ia kembali melajukan kembali motornya membelah jalanan kota Surabaya ketika sudah berbelanja.
Dari arah seperti ini, Cinta akan dengan leluasa bertabrakan dengan cahaya senja yang sebentar lagi berpulang. Hatinya kembali mengamuk. Cinta selalu mengingat sosok Edwin apabila melihat senja. Ia ingat betul, Edwin menyatakan perasaannya pada Cinta di saat mereka berdua tengah menyaksikan pemandangan yang disuguhkan langit sore kala itu di taman kompleks di samping kontrakan Cinta. Tepatnya di tengah senja yang berpendar sempurna. Mirisnya, kebersamaan melihat senja saat itu adalah saat terakhir mereka berdua bertemu di dalam setahun ini.
Setahun ini, mereka berdua melakukan pacaran jarak jauh. Yang paling mengenaskan, aniversari mereka dua minggu yang lalu dilupakan oleh Edwin sendiri. Di saat itu Cinta benar-benar ingin menyudahi hubungan mereka namun Edwin berhasil meruntuhkan kemarahan Cinta dengan meminta maaf. Memikirkan hubungannya, Cinta merasa benar-benar pusing.
Tak terasa motor Cinta sudah sampai di depan kontrakannya. Ia segera memarkirkan motornya di teras kontrakannya.
"Woi! Baru pulang, Cin?" Helm yang dipegang Cinta langsung terjatuh. Ia mengusap-usap dadanya pelan.
"Kebiasaan banget, Vo. Nggak bisa apa sapa baik-baik. Udah tahu kalau gue nggak bisa dikagetin gini," ucap Cinta sedikit sewot namun Ivo hanya cengengesan. Ivo yang memiliki nama panjang Ivoren Lastini adalah anak kos di samping kontarakan Cinta. Ia sedang kuliah di salah satu universitas kristen yang ada di Surabaya. Ia juga anak rantau. Aslinya dia berasal dari Kalimantan. Meskipun perempuan, ia selalu bergaya seperti seorang laki-laki. Lihat saja rambutnya itu, sudah dicukur pendek seperti rambut laki-laki. Belum lagi celananya yang bukan Ivo namanya kalau tidak ada bolong-bolongnya. Celana model apa pun itu.
"Ya, sorry! Habisnya tumben telat."