Aku mau bahagia, bukan untuk memelihara luka.
~Cintara, yang mengakhiri.
***
"Gue nebeng, ya, Cin." Cinta menoleh ke samping dan mendapati Ivo yang sudah siap dengan setelan hariannya. Celana robek lengkap dengan kemeja kotak-kotak.
"Ngampus?" tanya Cinta yang diangguki oleh Ivo. Cinta mulai memasang helm miliknya. "Lo yang bawa motor tapi jangan ngebut," sambungnya.
Ivo lagi-lagi melompati tembok yang memang tingginya hanya sebatas lutut sebagai pembatas. "Siap, bosku."
Ivo memang sering menumpang di motor Cinta jika ia masuk pagi dan Cinta pun tidak mempermasalahkan itu. Lumayan, ia tidak akan capek-capek mengemudi. Sebenarnya Ivo lebih tua dari Cinta. Lebih tepatnya setahun di atas Cinta tapi hubungan keduanya sudah seperti saudara yang ketemu gede.
"Pulang jam berapa, Vo?" Cinta mengeraskan sedikit suaranya agar bisa didengar oleh Ivo karena ada suara kendaraan-kendaraan lainnya yang juga terdengar saling saut-sautan.
"Paling jam tigaan. Mau kerja tugas dulu bareng teman," balas Ivo tak kalah kencang.
"Mau nunggu, gak? Sekalian biar pulang bareng?"
"Gak, ah. Nunggu lo bakal kelamaan. Waktu rebahan gue akan berkurang." Cinta memukul ringan pundak Ivo. Ivo memang tukang tidur. Ia hanya akan berpindah dari kasur kalau sedang lapar atau ingin mandi.
Ivo menghentikan motor ketika sudah sampai di depan kampus. Di depan gerbang sudah ada teman-teman Ivo yang menunggu dirinya. Cinta menggeleng pelan. Bahkan teman-temannya adalah orang-orang berambut panjang namun berperawakan laki-laki.
"Thanks, ya."
"Yo. Ngeri juga teman-teman lo." Cinta langsung menstater motornya keluar dari lingkungan kampus. Rasanya ngeri sendiri kalau lama-lama berhadapan dengan teman-teman Ivo. Meskipun awut-awutan, Ivo adalah sosok yang sangat baik menurut Cinta. Mulutnya juga terkadang kasar namun hatinya berhati lembut. Setiap hari Minggu, Ivo dan Cinta juga selalu bersama-sama ke gereja untuk beribadah. Terpenting bahwa hadirnya Ivo, Cinta tidak lagi merasa kesepian selama di Surabaya. Tidak sekali pun Cinta berpikir bahwa ia bisa menemukan teman setulus Ivo di perantauan. Mungkin hanya sebuah keberuntungan baginya.
Cinta segera memarkir motornya setelah sampai di kantor barlantai empat belas itu. Ruangannya berada di lantai enam, tepat di lantai yang fokus pada desain interior. Ia segera memasuki lift dan menekan tombol angka mana yang akan mengantarnya. Sudah pukul delapan tepat. Selama bekerja, Cinta juga tidak pernah terlambat karena memang ia sangat menghargai waktu, terlebih ia sangat menghargai pekerjaannya.
"Pagi, Cin!" sapa Revan, teman sekerja Cinta namun fokusnya pada desain resort sedangkan Cinta fokusnya khusus pada perumahan meskipun sama-sama desain interior.
"Pagi, Van. Sudah dari tadi?" tanya Cinta berhenti sejenak di meja Revan.
"Tidak juga. Baru-baru, kok. Oh, iya, Cin... tadi Pak Dimas titip pesan. Katanya kamu temuin dia di ruangannya jam sembilan," ucap Revan. Ia kembali fokus pada komputernya.