Setelah meninggalkan Min Ji di akademi piano untuk memulai kelasnya, Ryu Jung memutuskan untuk pergi ke supermarket terdekat untuk membeli beberapa cemilan. Dia berjalan di antara rak-rak, memilih beberapa makanan ringan, dan kemudian duduk di bangku luar supermarket untuk menunggu Min Ji selesai kelas. Saat sedang menikmati cemilannya, Ryu Jung melihat seorang remaja perempuan yang tampak terburu-buru berlari. Tanpa melihat ke kanan dan kiri, remaja perempuan itu berlari dengan cepat menuju jalan ketika lampu lalu lintas sudah berubah hijau untuk kendaraan. Ryu Jung terkejut melihat tindakan berbahaya itu. Dengan refleks cepat, dia langsung bangkit dari tempat duduknya dan berlari ke arah remaja perempuan itu. Dalam hitungan detik, dia berhasil menarik remaja perempuan itu kembali ke trotoar sebelum mobil-mobil melaju.
“Hei, apa yang kau lakukan?!” kata Ryu Jung dengan nada tegas setelah memastikan mereka berdua aman. Remaja perempuan yang terkejut dan terengah-engah hanya bisa menatapnya dengan mata besar. Ryu Jung menghela napas panjang untuk menenangkan dirinya “Apa kau tidak tahu betapa berbahayanya berlari seperti itu ke jalanan? Kau bisa terluka parah atau bahkan hal buruk bisa terjadi” ucap Ryu Jung.
Remaja perempuan itu menunduk, merasa malu dan takut “Maaf, aku tidak berpikir kesana” ucap remaja perempuan itu. Ryu Jung menatapnya dengan penuh empati “Apa yang membuatmu begitu terburu-buru hingga kamu berlari seperti tadi?” tanya Ryu Jung. Remaja perempuan itu terdiam sejenak, tampak ragu untuk berbicara. "Aku hanya... aku merasa perlu melakukannya. Aku tidak bisa hidup seperti ini” ucap Remaja perempuan.
Ryu Jung menatapnya dengan tatapan lembut namun penuh perhatian “Aku tidak tahu apa yang sedang kau alami, tapi melakukan hal seperti itu bukanlah solusi. Kau harus lebih berhati-hati” ucap Ryu Jung. Remaja perempuan itu langsung menangis “Kenapa tadi menarikku? Seharusnya aku sudah mati sekarang. Jika aku mati, semua akan baik-baik saja termasuk hidup Appaku. Kamu tidak tahu apa yang aku alami” kata remaja perempuan itu berteriak sambil terisak. Ryu Jung terkejut dan memeluknya “Aku tidak tahu apa yang kamu alami, tetapi kamu masih sangat muda untuk melakukan hal seperti itu. Aku minta maaf karena aku tidak tahu apa yang kamu alami, aku hanya tidak ingin remaja sepertimu pergi meninggalkan dunia ini dengan cara yang menyakitkan” kata Ryu Jung. 2 menit kemudian, remaja itu mulai tenang dan Ryu Jung melepaskan pelukannya lalu membimbing nya untuk duduk di bangku dekat supermarket.
“Kurasa sekarang kamu sudah tenang. Jika kamu membutuhkan teman bercerita dan kamu merasa kesepian, datanglah ke Cafe milikku. Nama Cafeku yaitu Cafe Cheongbaram. Disana kamu bisa berbicara dengan kami dan kami akan mendengarkan ceritamu atau jika kamu membutuhkan bantuan, kami akan membantumu” kata Ryu Jung. Ryu Jung mengeluarkan kartu nama dan memberikannya kepada remaja perempuan itu. Remaja perempuan itu menerima kartu nama dan melihatnya. Ryu Jung memberikan 1 botol susu pisang kepada remaja perempuan. “Minumlah ini. Mungkin bisa sedikit menenangkanmu” kata Ryu Jung dengan suara lembut. Remaja perempuan itu mengambil botol susu pisang dengan tangan gemetar, mencoba menenangkan diri meski air mata terus mengalir di pipinya. Ryu Jung duduk di sampingnya, menunggu dengan sabar hingga dia siap untuk berbicara. “Namaku Ji Ah. Aku sangat membenci diriku sendiri” kata Ji Ah dengan suara gemetar. “Eommaku meninggal saat melahirkanku. Appaku... dia membenciku karena itu. Dia selalu mabuk dan tidak pernah berbicara denganku. Aku tidak ingin dilahirkan. Aku tidak ingin ada di sini” ucap Ji Ah.
Ryu Jung merasa hatinya hancur mendengar pengakuan Ji Ah. Dia menatap Ji Ah dengan penuh empati “Tidak ada yang bisa memilih bagaimana kita dilahirkan atau keadaan apa yang kita hadapi. Tapi percayalah, tidak ada yang seharusnya menyalahkanmu atas apa yang terjadi. Kehidupan ini penuh dengan tantangan, tapi itu bukan alasan untuk membenci diri sendiri” ucap Ryu Jung. Ji Ah terus menangis, merasa beban yang selama ini dia pikul menjadi semakin berat “Tapi appaku... dia selalu mengabaikanku. Aku merasa tidak berguna dan tidak diinginkan. Aku tinggal 1 rumah dengan Appaku, tetapi aku merasa kalau aku hanya tinggal sendirian disana” ucap Ji Ah.
Ryu Jung menghela napas, berusaha menemukan kata-kata yang tepat “Aku tahu kamu merasa sangat kesepian dan tidak diinginkan. Tapi ingatlah, nilai dirimu tidak ditentukan oleh apa yang orang lain katakan atau lakukan. Kamu memiliki potensi dan kebaikan dalam dirimu yang mungkin belum kamu sadari. Mungkin sulit untuk melihatnya sekarang, tapi ada orang-orang di luar sana yang peduli padamu dan ingin membantumu” ucap Ryu Jung. Ryu Jung menatap mata Ji Ah dengan penuh ketulusan “Cafe Cheongbaram adalah tempat di mana kami membantu orang-orang menemukan kedamaian dan kebahagiaan. Kami akan selalu ada untukmu jika kamu butuh tempat untuk berbicara atau hanya sekadar menghabiskan waktu” ucap Ryu Jung.
Ji Ah masih terisak, tetapi dia mulai merasa ada harapan kecil di dalam hatinya “Terima kasih. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi” ucap Ji Ah. Ryu Jung tersenyum lembut “Tidak masalah. Aku ada di sini untukmu. Dan ingatlah, kamu tidak sendirian. Kami akan selalu siap membantumu” ucap Ryu Jung. Setelah beberapa saat, tangisan Ji Ah mereda. Ji Ah mulai merasa lebih tenang. Dia menghapus air matanya dan menatap Ryu Jung dengan lebih tenang. “Terima kasih sudah mendengarkan dan membantuku” ucap Ji Ah.
Ryu Jung tersenyum lembut “Senang bertemu denganmu, Ji Ah”. Ji Ah mengangguk dan tersenyum samar "Aku akan mencoba datang ke Cafe Cheongbaram. Terima kasih sekali lagi” ucap Ji Ah. Ryu Jung mengangguk “Tentu, kami akan senang sekali jika kau datang. Jaga dirimu baik-baik, Ji Ah” ucap Ryu Jung. Ji Ah pamit dan berjalan pulang, merasa sedikit lebih ringan setelah berbicara dengan Ryu Jung. Sementara itu, Ryu Jung merasa lega telah bisa membantu seseorang yang sedang kesulitan. Dia berharap Ji Ah akan menemukan kedamaian dan kebahagiaan yang dia cari. Sementara itu, di akademi piano, Min Ji baru saja selesai dengan kelas pertamanya. Dia berjalan keluar mencari Ryu Jung, berharap bisa menceritakan pengalamannya di kelas. Namun, saat dia berjalan melewati salah satu ruang latihan, dia mendengar suara yang dikenalnya yaitu suara Da Hee. Min Ji berhenti sejenak, mendengarkan dengan seksama. Dia mendengar suara Kang Joon Min, seorang siswa lain di akademi yang terkenal dengan sikap sombongnya, sedang berbicara dengan nada menghina kepada Da Hee.
“Kau pikir kau pantas berada di sini, Da Hee-ya? Kau membawa sial ke mana pun kau pergi. Kau tidak ingat kejadian kecelakaan yang terjadi dan menewaskan ibu kau? Kau hanya membuat akademi ini menjadi tempat terkutuk. Tidak ada yang menginginkanmu di sini dan tidak ada yang mau dekat dengan kau karena kau membawa sial” kata Kang Joon Min dengan nada penuh cemoohan. Min Ji merasa marah mendengar kata-kata tersebut. Dia bisa merasakan kesedihan dan kekecewaan Da Hee yang diam-diam menahan air mata. Min Ji tahu bahwa dia harus melakukan sesuatu untuk membantu Da Hee, tetapi dia juga ingin menangani situasi ini dengan bijaksana.
Min Ji mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum masuk ke dalam ruangan. Dia membuka pintu dan masuk. Da Hee dan Joon Min sama-sama terkejut melihat Min Ji masuk. Joon Min langsung memasang wajah angkuh “Apa urusanmu di sini?” tanya Joon Min. Min Ji menatap Joon Min dengan tegas “Aku tidak punya urusan apapun, tapi aku hanya tidak suka mendengar perkataan yang baru saja kamu katakan. Kurasa semua orang yang berada disini harus diperlakukan dengan baik. Kita semua berada di akademi ini untuk belajar dan berkembang, bukan untuk menjatuhkan satu sama lain dan bukan untuk mengatakan hal-hal buruk apalagi mengatakan seseorang membawa sial” ucap Min Ji.
Da Hee menatap Min Ji dengan mata berkaca-kaca, merasa terharu dengan keberaniannya. Joon Min mendengus dan berbalik, meninggalkan ruangan dengan rasa kesal. Min Ji mendekati Da Hee dan tersenyum “Jangan dengarkan apa yang dia katakan. Kamu pantas berada di sini dan memiliki bakat yang luar biasa. Jika kamu butuh teman, aku ada di sini. Perkenalkan, namaku Min Ji" ucap Min Ji. Da Hee tersenyum lemah “Terima kasih, Min Ji-ssi. Aku tidak tahu harus berkata apa” ucap Da Hee. Min Ji menggenggam tangan Da Hee dengan lembut dan tersenyum.
Setelah insiden itu, Min Ji menemui Ryu Jung yang sudah menunggunya di luar akademi. Ryu Jung bisa melihat ada sesuatu yang mengganggu pikiran Min Ji. “Apa yang terjadi, Min Ji-ya?” tanya Ryu Jung. Min Ji menceritakan kejadian yang baru saja dialaminya, termasuk bagaimana dia mendengar Da Hee diolok-olok oleh Kang Joon Min. “Kamu melakukan hal yang benar, Min Ji-ya. Da Hee membutuhkan dukungan kita. Kita harus memastikan dia tahu bahwa dia tidak sendirian” kata Ryu Jung dengan tegas.
Di Apartemen, Da Hee duduk di kamarnya dengan pandangan kosong. Kata-kata hinaan Joon Min terus terngiang di kepalanya. Dia merasa hancur, seperti tidak ada tempat di mana dia diterima. Dalam keputusasaan, pikirannya mulai beralih ke hal-hal yang lebih gelap. “Apa aku memang membawa sial? Apa aku seharusnya tidak ada di sini? Apakah aku seharusnya pergi juga?” bisiknya pada dirinya sendiri. Dengan perasaan berat dan putus asa, Da Hee memutuskan untuk meninggalkan rumah. Dia berjalan menuju gedung tinggi di dekat rumahnya, yang dikenal sebagai Taewon Tower, sebuah bangunan berlantai dua puluh yang sering dijadikan tempat pengamatan. “Mengapa Da Hee pergi kesana? Astaga!!! Aku benci pemikiranku, aku harus meminta pertolongan. Tuhan, tolong! Jangan biarkan Da Hee melakukan hal tersebut” kata Da Eun.
Di sisi lain, Ryu Jung dan Min Ji sedang berjalan kembali menuju Cafe Cheongbaram. Mereka berbicara tentang bagaimana mereka bisa membantu Da Hee lebih lanjut ketika tiba-tiba mereka melihat sosok yang dikenal, Da Eun, menangis dan berlari ke arah mereka. “Da Eun-ssi? Ada apa? Apakah terjadi sesuatu?” tanya Ryu Jung yang kaget melihat Da Eun tiba-tiba muncul. Da Eun menangis tersedu-sedu, wajahnya penuh kepanikan “Tolong! Da Hee dalam bahaya! Dia akan melakukan sesuatu yang berbahaya. Tolong selamatkan dia!” ucap Da Hee.