Cafe Stories

Mizan Publishing
Chapter #2

Satu

Mulanya rintik kecil lalu hujan membadai. Awalnya hanya itu sebelum jejak matahariku menguak dingin yang seperti selamanya merambati kulit ari dan nyaris membekukan otakku. Kafe buku Town Square. Kamis, 10 Mei 2012. Matahari sore yang kejam kehabisan energi menjajah bumi karena depakan awan hujan —thank God.

Laporan kondisi: kelaparan. Kantong tipis. Sampul buku berkilat menggoda. Harum kopi kelas tinggi liar menggeliat. Perempuan berseragam dengan nampan di tangan dan tatap mata kejam sudah lebih dari dua belas kali lewat di samping mejaku.

Alasanakurelaterdampardiranahantahberantah ini adalah Alex Tantra. Penulis itu demikian antusias dengan sketsa-sketsa yang aku posting di akun FB-ku. Demikian tertarik sampai merasa perlu mengusik waktu tidur keramatku dan membanjiri kotak surelku dengan permintaan bertatap muka. Kusanggupi tawarannya untuk bertemu dua belas jam kemudian. Tak ada alasan bagi illustrator freelance yang sedang memerah darah di akhir bulan sepertiku untuk menolak. Alasan kedua, tidak banyak penulis terkenal di kota kecil tempat tinggalku. Aku penasaran seperti apa rupanya. Maka kutekan Mas Nasih untuk membangunkanku lima menit tepat setelah azan zuhur dari Masjid At-Taqwa. Jika prediksiku tidak meleset, setelah mandi, menyiapkan sampel sketsa dan sarapan siang, dengan mengayuh si Jengki, aku akan tiba dalam sepuluh menit sebelum waktu yang ditetapkan penulis itu. Cukup bagus untuk mendongkrak profesionalitasku sebagai pekerja lepas.

Ada yang berkata ‘tak ada yang kebetulan dalam hidup’. Kuterjemahkan secara bebas, apa yang terjadi padamu sekarang pasti akibat dari perbuatanmu, perbuatan orangtuamu, perbuatan temanmu, perbuatan orang berkumis tidak kau kenal di sampingmu, perbuatan istrimu, perbuatan adik kecilmu, perbuatan presiden negara kita, perbuatan Halim Perdana Kusuma, perbuatan Mariah Carey, atau bisa siapa saja. Baik kau jelas-jelas tahu mereka melakukan hal yang menyebabkan dirimu tertimpa nasib itu di depan matamu atau sengaja mereka melakukannya diam-diam di belakangmu atau kau buta sama sekali dan mereka tidak bermaksud menimpakan akibatnya padamu.

Dan pernghormatan terbesarku atas anugerah hari ini kuberikan pada penulis itu. Kalau laki-laki itu tidak mengajakku bertemu sore ini, di tempat ini, pada jam sekian, mungkin aku tidak akan pernah menemukanmu lagi.

Kau.

Aku.

Berhadapan. Bukan sebagai dua sekutu kecil yang memendam rivalitas. Tak ada bola plastik di kakimu dan tak ada peluit tukang parkir tergantung di leherku.

Hanya pensil di telingaku yang menandai kalau aku masih Hiro dan sesuatu yang tak ada padamu, tapi masih ada padamu yang membuatku mengenalimu sebagai Lana.

Bagiku, kau berbeda walau masih sama.

Kuharap begitu.

Waktu berhenti. Terkotak dalam satu dimensi saat Hiro memungut pensilnya yang jatuh. Ujung-ujung jari kaki lentik berpulas kilau keemasan menyembul dari sepatu bertali, dua senti dari pensilnya yang patah. Repih grafit hitamnya bertebaran, tetapi Hiro tak peduli. Terlanjur terserap dalam dimensi bernama déjà vu pekat yang memaksanya berhenti sesaat.

“Maaf.” Ujung-ujung kaki itu bergerak.

Suara pemiliknya seolah menarik punggung Hiro untuk duduk menegak.

“Hiro?” panggil perempuan di depannya.

Kening Hiro berlipat. Alisnya bergerak dalam ritme yang aneh. Tanda bahwa otak di belakangnya berusaha keras memahami sensor impuls yang dikirim penglihatannya dalam bentuk sosok cantik yang bagi Hiro hanya muncul dari planet lain bernama majalah fashion.

Belum sempat Hiro mendapat pencerahan, telunjuk bercat kuku senada dengan warna lensa kontak, menunjuk hidungnya. “Kamu lupa, ya?” Alis lentik itu bertaut sesaat, lalu mata di bawahnya berkerjap lucu, “Tebak siapa?”

Laki-laki yang muncul dari belakang bahu perempuan itu menatapnya sekilas, lalu membisikkan sesuatu di telinganya. Sesuatu yang membuat perempuan itu tersenyum sekilas, lalu kembali memusatkan perhatian pada Hiro.

“Hmmm ... hmmm ... belum ingat?”

Tangan Hiro refleks menggaruk kepala. Hal yang biasa dilakukannya saat kemampuan otaknya mulai menjebol ambang batas. “Err ... siapa, ya?”

Perempuan itu masih belum menyerah. Tangan kirinya terangkat tinggi di udara, sementara sebelah tangannya membuat gerakan dengan udara kosong di depannya “Kau masih ingat, rumah pohon? Sketsa?”

Tangan Hiro semakin bersemangat menggaruk kepala dan perempuan itu mulai kehilangan semangat.

“Lana!! Masak sih, kamu lupa?!”

Seketika Hiro menepuk kening. Merasa malu dengan ketololannya dan gugup sekaligus “Astaga, sorry ... mm ... aku, yah ... lupa. Eh, ahahahahaha.” Hiro menutupnya dengan tertawa lebar-lebar yang kian memperparah ketololannya.

Bahu makhluk cantik di depannya terguncang karena geli. “Kamu masih kayak dulu, ya?”

Hiro menunjuk hidungnya sendiri, “Aku?”

Jika Hiro tak salah tafsir, tatapan Lana yang sama sekali belum bergeser dari penampilannya bisa lebih diartikan takjub daripada antipati. Menilik penampilannya yang terpantul dari dinding kaca mengilap kafe buku ini, penampakannya luar biasa payah. Kaus kumal bersablon merek genteng anti bocor, pensil terselip di telinga, sandal jepit beda warna, tas pinggang tentara, tas selempang bergambar lambang merek terigu dan gulungan kertas tergenggam di satu tangan. Kalau tak jeli menilai, Hiro bisa dikira tukang ukur bangunan atau kenek bus nyasar. Hiro mafhum. Jika bukan karena janji bertemu dengan penulis yang ingin bukunya dihiasi ilustrasi Hiro, dia juga malas menginjakkan kaki ke tempat ini. Meski samasama memutar investasi dari komoditi bernama buku, ada jurang yang terlalu curam antara kafe buku dan pasar loak yang tak bisa dijembatani: kebebasan tawar-menawar di kafe buku telah disunat. Hiro sulit menolerir hal sepenting ini.

“Ah, iya.” Hiro terkekeh. “Ada sukarelawan konservasi yang melestarikanku. Jadi, awet, deh.”

Tawa Lana lepas dan Hiro kembali melihat mata cemerlang yang pernah memikatnya.

“Kamu ... cantik banget.” Hiro menyesali ucapannya. Memuji penampilan perempuan sungguh bukan kebiasaannya.

Gelak di tawa Lana padam. Berganti selidik curiga seperti yang pernah Hiro kenal bertahun lalu, “Kau pasti merencanakan sesuatu.” Matanya menyelidik.

“Eh, enggak .... Benar kok ... serius.” Hiro mengangkat tangannya ke depan “Ya ampun, Na, beneran, aku nggak bakal ngusilin kamu kayak dulu.” Hiro baru sadar, sindiran Lana merujuk pada ulahnya mencoreti wajah Lana yang tertidur di rumah pohonnya, lalu bersekongkol dengan ketujuh kakaknya untuk memuji ‘kecantikan’ Lana waktu dia bangun nanti. Sejak saat itu, kata ‘cantik’ yang keluar dari bibir Hiro menjadi tanda bahaya bagi Lana.

Lana kembali tergelak mengingatnya “It’s ok. Celana kamu sobek waktu aku ngejar kamu ngelewati parit. Jadi, kita impas.”

“Puas kamu?”

Tampang galak Hiro padam ketika laki-laki yang tadi membisiki Lana kembali dengan satu cangkir kecil di tangan. Hiro menghirup wangi espresso dari riap uapnya. Mata kecil laki-laki itu meruncing melihatnya dan baru mengendur saat Lana menyebut namanya. Entah kenapa, Hiro merasa ditelanjangi.

Lihat selengkapnya