Sebelas menit tiga puluh delapan detik. Waktu yang kucuri darimu. Tak genap dua belas menit, tapi lebih dari cukup untuk membuat dua belas tahun ketiadaanmu dalam hidupku tertebus dan membuatku menyesali tahun-tahun yang kulewati tanpa melihat tawamu. Aku berdiri di bawah hujan. Menapak jejak kakimu yang hilang dibawa arus dan berharap menjelma menjadi lebih dari simpul keramat pembaca jejak orang-orang Mesir. Jadi, kalaupun kau kembali hilang, aku masih dapat membaca, lalu mengemas hal-hal tentangmu yang tersisa dari jejak yang kau tinggalkan. Aku berharap menjadi lebih peka daripada anjing pelacak supaya bisa kuikuti ke mana kau pergi dan menebus penyesalanku atas pertanyaanpertanyaan yang tak sempat kulontarkan dalam sebelas menit tiga puluh delapan detik yang singkat tadi.
Tanganku mengerat menggenggam tetes hujan yang lepas satu demi satu.
Sebelah tanganku menelusup ke balik jaket, menggenggam denyar jantungku di dalam dada.
Kedua tanganku menggenggam dua hal yang berbeda, namun sama rasanya. Kosong. Mungkin memang begini rasa rindu.
Aku tak mampu menggenggam hujan seperti aku tak bisa menutup lubang di hati yang tibatiba ada setelah kau pergi.
Aku tak peduli jika lubang ini masih ada sampai sisa usia menghabisiku. Aku tak peduli jika lubang ini menyiksaku dengan pertanyaanpertanyaan yang selamanya tak bisa kuselesaikan. Aku tak peduli jika lubang ini tetap menganga walau mungkin akan semakin perih dan menyakitkan. Karena jika dengan begini aku bisa tetap merasakan hadirmu, aku tak akan menambal lubang ini dengan apa pun.
Laki-laki itu melepas jaketnya sembari berjalan mendekat ke arah Hiro ketika Hiro berdiri untuk menyambutnya. Semburat warna kelabu mencuat di sana-sini dan gurat garis senja di wajahnya menandakan rentang usia yang matang. Hiro melepas topinya untuk memberi penghormatan kedua, lalu menghampiri lakilaki yang menyampirkan jaket basahnya ke gantungan. Tak ada sinyal, tapi radar Hiro mengatakan kalau lelaki itu adalah orang yang sedang dia tunggu.
“Mas Alex?” Mata Hiro cemerlang. “Saya Hiro.”
Tangan laki-laki itu menyambut uluran Hiro, tapi wajahnya berkerut tidak sinkron. “Hiro siapa, ya?” Suaranya yang dalam dan berat terseret sengau dengan aksen asing yang menyenangkan. Cocok dengan rambut kelabu dan kulitnya yang putih kemerahan. Seorang ekspatriat mungkin.
“Tukang gambar, Mas. Kita janjian di tempat ini sore ini.”
Kerut di kening laki-laki itu berkedut.
Hiro berusaha mengingatkan “Night at the Schimapolle Pollirs, An Unexpectable Event: the Series Number Four, The O and The Q. Mas ingat, kan?” suara Hiro hampir terdengar putus asa menyebutkan judul-judul lukisannya yang tak mentereng.
“Oh,” laki-laki itu mengguncang tangan Hiro yang berhasil membuat Hiro menghempas napas lega, “saya Camille. Wait, saya kenal dengan judul-judul tadi. Kamu yang bikin?”